Blog untuk Pendidikan

Sabtu, 31 Januari 2015

Pentuan Kriteria Miskin

Menentukan kriteria keluarga miskin sebagai indikator penerima bantuan iuran jaminan kesehatan perlu adanya suatu pendekatan lebih dahulu, adapun variabel yang digunakan sebagai penentu keluarga miskin adalah pangan, sandang, papan, atau rumah beserta perlengkapan dan lingkungan, pendidikan, kesehatan dan sosial yang telah ditetapkan.
Untuk menentukan jumlah keluarga miskin tahun 2014 menurut Kemensos Nomor 147 Tahun 2013 dikutip dari Khansa Asikasari masih menggunakan kriteria keluarga miskin pada pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2011 yang ditetapkan oleh BPS tahun 2005 yaitu :
1.      Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.
2.      Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3.   Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4.      Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama dengan rumah tangga lain.
5.      Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan.                                                                 
7.      Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8.      Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9.      Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10.  Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11.  Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12.  Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di bawah rata-rata Rp 600.000,00 per bulan.
13.  Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14.  Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,00 seperti: sepeda motor (kredit/non-kredit), emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya[1].

Keluarga miskin yang bisa termasuk dalam (PBI) jaminan kesehatan harus memenuhi 9 (sembilan) dari 14 (empat belas) kriteria yang ditetapkan. Namun, untuk menverifikasi dan validasi peserta PBI digunakan kriteria berdasarkan Kemensos Nomor 146 Tahun 2013 tentang Penetapan Kriteria Dan Pendataan Fakir Miskin Dan Orang tidak Mampu.
Kriteria di atas telah disahkan dan berlaku untuk dilaksanakan namun untuk pendataannya belum dilakukan pada tahun 2014. Di antara kriteria  program pendataan perlindungan sosial tahun 2011 dan kriteria yang ditetapkan berdasarkan Kemensos Nomor 146 Tahun 2013 memiliki perbedaan. Pada kriteria perlindungan sosial tahun 2011 variabel yang digunakan lebih khusus karena mencantumkan variabel sumber mata pencaharian, luas tanah, jumlah penghasilan dan jumlah tabungan yang dimiliki oleh keluarga miskin yang akan didata. Sedangkan kriteria yang ditetapkan berdasarkan Kemensos Nomor 146 Tahun 2013 variabel lebih luas dan mencantumkan ketidakmampuan kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi keluarganya.



[1] Khansa Asikasari, 2013, Idealitas Penerima Bantuan (PBI); Haruskah Kaum Rentan Dikorbankan, Diakses pada tanggal 14 Desember 2013, dari : http://m.kompasiana.com

Mekanisme Pelaksanaan Pendataan Program Perlindungan Sosial

Penerima bantuan iuran jaminan kesehatan adalah peserta jaminan kesehatan yang didaftarkan dan dibayar iurannya oleh pemerintah. Peserta tersebut terdiri dari fakir miskin dan orang tidak mampu yang dipilih pemerintah sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam tahap ini pemerintah akan melakukan pendataan kepada seluruh masyarakat miskin yang ada di Indonesia yang dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik) di setiap daerah. Kemudian data yang didapat dari BPS tersebut menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah untuk menentukan jumlah nasional penerima bantuan iuran jaminan kesehatan yang dilakukan oleh menteri sosial dan menteri keuangan yang berkoordinasi dengan menteri dan lembaga yang terkait.
Adapun pengertian pendataan keluarga menurut BKKBN dikutip Siti Internawati adalah : �Kegiatan pengumpulan data-data primer tentang demografi, keluarga berencana, dan tahapan keluarga sejahtra serta data individu anggota keluarga yang dilakukan oleh masyarakat bersama pemerintah secara serentak pada waktu yang telah ditentukan melalui kunjungan keluarga dari rumah kerumah�[1].
Pendataan ini diharapkan dapat menjaring seluruh keluarga miskin yang ada di seluruh Indonesia sehingga keluarga miskin yang terdata dapat didaftarkan sebagai penerima bantuan iuran jaminan kesehatan dan menikmati program jaminan kesehatan yang diselenggarakan pemerintah.
Penetapan jumlah Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan tahun 2014 masih menggunakan hasil Program Pendataan Perlindungan Sosial tahun 2011. Mekanisme pendataan yang dilakukan oleh BPS tersebut dilakukan sistem Statistik Deskriptif (Dedukatif). Menurut Hartono menyatakan bahwa :
�Stastitik Deskriptif (Deduktif) yaitu kegiatan statistik yang dimulai dari menghimpun data, mengolah data, menyajikan dan menganalisa data angka, guna memberikan gambaran tentang sesuatu gejala, peristiwa atau keadaan�[2].
Oleh karena itu, pemerintah menunjuk Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan kegiatan pendataan rumahtangga miskin sebagai penerima bantuan iuran jaminan kesehtan. Sebagai lembaga Non Departemen yang bertugas pokok untuk perstatistikan, maka BPS harus melakukan suatu perencanaan mulai dari membuat konsep definisi, metodologi, rekrutmen petugas, pelatihan petugas, pendataan dan pengolahan data hasil pendataan berdasarkan ketersediaan anggaran yang disepakati dalam APBN.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) sebagaimana dikutip Siti Internawati, mekanisme pendataan keluarga miskin meliputi :
1.    Langkah pertama: proses penjaringan rumah tangga miskin
a.    Petugas pendata, yang merupakan tenaga mitra kerja lapangan BPS, Ketua Rukun Tetangga (Ketua RT), untuk mengkaji dan mencatat rumahtangga yang dianggap miskin dalam RT tersebut.
b.    Pengkajian oleh petugas pendata bersama Ketua RT berpedoman pada ketentuan yang telah digariskan oleh BPS yaitu menanyakan ke Ketua RT tentang siapa warga di lingkungan RT tersebut yang sering mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar (pangan dan non pangan). Pengkajian dimulai dengan rumahtangga yang dianggap paling miskin dilingkungan tersebut (descending order).
c.    Petugas juga melengkapi data rumahtangga miskin dari Ketua RT dengan informasi keluarga miskin dari hasil pendataan BKKBN yang datanya tersedia ditingkat RT sepanjang belum disebutkan oleh ketua RT. Data ini pun diperkaya lagi dengaan data dari sumber pendataan lain seperti hasil sensus kemiskinan BPS Provinsi/BPS Kabupaten/Kota, bagi daerah yang melaksanakan kegiatan tersebut.
2.    Langkah kedua: Melakukan Verifikasi Lapangan dan Penyerapan aspirasi masyarakat.
a.    Setelah melakukan penjaringan rumahtangga miskin pada langkah pertama, selanjutnya petugas melakukan verifikasi dilapangan atas kebenaran informasi yang diperoleh dari sumber-sumber yang disebutkan diatas. Dilakukan dengan mendekatkan kondisi mereka dengan kriteria umum kemiskinan (probing).
b.    Jika suatu rumahtangga yang semula dinyatakan miskin ternyata setelah diamati oleh petugas, tidak miskin maka rumahtangga yang telah dicatat dalam formulir akan dianulir.
c.    Petugas juga mencatat keluarga/rumahtangga miskin yang ditemukan dilapangan, tetapi belum tercakup dalam daftar tersebut diatas. Proses ini dilakukan dengan cara penelusuran informasi dari tetangga ke tetangga, tokoh masyarakat dan dari pengamatan petugas sendiri.
d.   Proses tersebut dikenal sebagai proses penilaian kemiskinan oleh masyarakat itu sendiri yang disebut sebagai pendekatan emic (suatu peroses justifikasi terhadap sesuatu oleh masyarakat itu sendiri dengan tolak ukur nilai-nilai yang berkembang dalam entitas mereka).
Proses tahap petama dan kedua ini telah menggabungkan 3 (tiga) sudut pandang dalam menilai miskin tidaknya suatu rumah tangga yaitu tokoh formal masyarakat (yang diwakili oleh ketua RT), petugas BPS, dan masyarakat itu sendiri (perspektif emic). Kegiatan pada tahapan-tahapan dimaksud diharapkan mampu menjaring secara objektif sasaran pendataan yaitu rumahtangga miskin.
3.    Langkah Ketiga: Melakukan Pencacahan dari Rumah ke Rumah
a.    Rumahtangga yang sudah terjaring dan dinyatakan layak miskin, selanjutnya didata dengan cara melakukan wawancara langsung dari rumah ke rumah dengan daftar pertanyaan yang memuat 20 pertanyaan dengan 14 variabel diantaranya sebagai variabel-variabel kemiskinan, 4 variabel sebagai variabel program intervensi.
b. Tahapan proses (penjaringan dan pendataan dari rumah kerumah) dilakukan dengan pengawasan ketat oleh Tim Taskforce BPS yang dibentuk ditingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan BPS pusat.
4.    Mendata rumahtangga miskin di luar wilayah administratif pemerintahan: Gubuk-gubuk liar dan sejenisnya. Selain mendata rumahtangga miskin sebagaimana mekanisme yang telah disebutkan, rumahtangga miskin yang berada diluar wilayah RT/RW atau yang dikenal sebagai pemukiman liar seperti gubuk liar disepanjang pinggir rel kereta api, dibantaran sungai, dibawah jembatan, di lokasi tempat pembuangan sampah, dan sejenisnya juga didata secara khusus oleh petugas taskforce kecamatan dan atau oleh petugas taskforce BPS Kabupaten/Kota[3].
Tahapan pendatan yang dilakukan BPS terhadap keluarga miskin, seca ra ringkas dapat dibuat bagan sebagai berikut :
Dengan demikian rumahtangga miskin baik yang bertempat tinggal di dalam ataupun di luar struktur wilayah administratif resmi diharapkan dapat tercakup dalam pendataan rumahtangga miskin/sensus kemiskinan ini. Sehingga tidak ada yang merasa terdiskriminasi dalam pendataan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tersebut, karena pendataan tersebut telah melibatkan perangkat desa dan tokoh masyarakat yang memahami kondisi lingkungan yang ada di masyarakatnya termasuk juga keluaraga miskin yang tinggal di pemukiman liar.



[1]Siti Internawati, Op. cit, h. 312
[2] Hartono, Statistik Untuk Penelitian, cet I, LSFK2P, Jakarta, 2004 h.3
[3] Siti Internawati, Op. cit, h. 312-314

Pengelolaan Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan

Program Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan merupakan program pemerintah yang bertanggungjawab secara langsung kepada Presiden. Program ini dilimpahkan kepada menteri yang menyelenggarakan bidang sosial untuk membantu Presiden menyelenggarakanya program tersebut.
Menurut S.F. Marbun yang dikutip dari Sadjijono dalam buku yang berjudul Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi menyatakan bahwa :
�Wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum�[1].
Secara teori sumber kewenangan pemerintah berasal dari 3 (tiga) hal yaitu : Atribusi, Delegasi dan Mandat. Menurut Titik Triwulan Tutik mengatakan  tentang pengertian sumber kewenangan tersebut adalah :
1.      Atribusi ialah pemberian kewenangan oleh pembuat undang-undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan baik yang sudah ada maupun yang baru sama sekali.
2.      Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ pemerintah kepada organ yang lain.
3.      Mandat adalah suatu pemberian wewenang kepada pejabat lain dengan atas nama pejabat pemberi mandat.[2]

Dari tiga pengertian sumber kewenangan diatas jika dikaitkan dengan tanggujawab dari wewenang itu sendiri bahwa dalam atribusi pertanggung jawaban berada pada penerima wewenang tersebut berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan, dan delegasi pertanggung jawaban berada pada instansi penerima wewenang tersebut sedangkan dalam mandat pertanggung jawaban itu berada  pada pemberi wewenang karena dalam mandat tugas yang dilaksanakan penerima mandat mengatas namakan pemberi mandat tersebut.
Jadi dalam hal ini Menteri Sosial memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk mensukseskan program pemberian iuran jaminan kesehatan. Namun, untuk mengelola program tersebut perlu adanya koordinasi antar menteri dan lembaga yang terkait sesuai dengan kewenangannya dalam pemerintahaan sebagai pembantu Presiden. Langkah koordinasi tersebut diambil untuk hal yang tidak bisa ditentukan oleh Menteri Sosial sehingga harus dikoordinasikan dengan menteri dan lembaga yang terkait agar dapat ditentukan bersama atau dilimpahkan kepada menteri dan lembaga terkait dalam pelaksanaannya.
Pelimpahan ini merupakah pelimpahan wewenang secara Atribusi menurut Sadjijono menyatakan wewenang atribusi adalah :
�Wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, artinya wewenang pemerintah dimaksud telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,wewenang ini kemudian yang disebut sebagai asas legalitas (legalitietbeginsel)[3]�.
Ini berarti wewenang yang diberikan dalam pengelolaan Pemberian Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dari pemerintah ini telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah yaitu dengan dasar pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran jaminan Kesehatan.
Selain itu, dalam pengelolaan program penerima bantuan iuran jaminan kesehatan ini perlu adanya sebuah langkah koordinasi antar kementerian dan instansi pemerintah.
 Menurut Pearce II dan Robinson yang dimaksud dengan koordinasi adalah �Integrasi dari kegiatan-kegiatan individual dan unit-unit ke dalam satu usaha bersama yaitu bekerja ke arah tujuan bersama�[4]. Sedangkan menurut Stoner koordinasi adalah �Proses penyatu-paduan sasaran-sasaran dan kegiatan-kegiatan dari unit-unit yang terpisah (bagian atau bidang fungsional) dari sesuatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien�.[5]
Dari kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa koordinasi adalah penyatuan beberapa instansi pemerintah dalam pelaksanaan program sehingga pelaksanaannya dapat berjalan secara harmonis antar lembaga dan dapat mencapai tujuan secara bersamaan.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan menyebutkan :
1.    Kriteria Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
2.    Kriteria Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik untuk melakukan pendataan.
Dalam penetapan kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai peserta jaminan kesehatan menteri yang yang diberi kewenangan untuk menentukannya adalah menteri sosial yang telah berkoordinasi dengan menteri dan/atau lembaga yang terkait. Hasil dari penetapan ini merupakan acuan bagi lembaga yang menyelenggarakan pendataan di lapangan untuk memilih fakir miskin dan orang tidak mampu. Lembaga yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan pendataan adalah BPS (Badan Pusat Statistik), yaitu suatu lembaga pemerintah yang bergerak dalam statistik.
Data yang telah diperoleh dari BPS tersebut akan di verifikasi dan di validasi untuk dijadikan data terpadu penerima bantuan iuran jaminan kesehatan. Menteri yang berwenang melakukan verifikasi dan validasi data tersebut adalah menteri yang menyelenggarakan bidang sosial yang dirinci menurut Provinsi dan Kabupaten/Kota
Kemudian Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan menyebutkan : �Data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang telah diverifikasi dan divalidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, sebelum ditetapkan sebagai data terpadu oleh Menteri, dikoordinasikan terlebih dahulu dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait�.
Data terpadu tersebut digunakan untuk menentukan jumlah penerima bantuan iuran jaminan kesehatan secara nasional, namun penetapan tersebut Menteri Sosial harus berkoordinasi terlebih dahulu kepada menteri yang bergerak di bidang keuangan danmenteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, dalam negeri, dan pimpinan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan jumlah penerima secara nasional dan besaran anggaran yang akan dikeluarkan untuk program tersebut.
Setelah dilakukan penetapan jumlah penerima bantuan iuran jaminan kesehatan data terpadu secara nasional. Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 menyebutkan : �Data terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disampaikan oleh Menteri kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan DJSN�.
Menteri Kesehatan dan DJSN adalah menteri dan Lembaga yang mengelola dan menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan. Sehingga data terpadu penerima bantuan iuran tersebut dapat didaftarkan oleh menteri bagian kesehatan ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial yang ditunjuk menyelenggarakan jaminan kesehatan adalah PT. ASKES, yaitu badan hukum milik negara yang menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kemudian untuk melakukan pengawasan program penerima bantuan iuran dilakukan dengan merubah data terpadu dalam adalah kementerian bidang sosial sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2012 yang menyatakan :
1. Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan dilakukan dengan:
a. penghapusan data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu yang tercantum sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena tidak lagi memenuhi kriteria; dan
b. penambahan data Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu untuk dicantumkan sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena memenuhi kriteria Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu.
2. Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diverifikasi dan divalidasi oleh Menteri.
Kemudian, Menteri Sosial melimpahkan wewenang kepada Dinas Sosial Provinsi, untuk melakukan verifikasi dan validasi peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan yang dilakukan setiap 6 (enam) bulan dalam tahunan anggaran.
Pelimpahaan wewenang tersebut merupakan wewenang secara mandat yang diberikan oleh Menteri Sosial kepada instansi yang ada di bawahnya. Sadjijono mengatakan bahwa :
�Wewenang mandat, adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan�[6].
Sebagaimana terdapat dalam Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2014 yang menyatakan : �Merujuk PP Nomor 101 tahun 2012 khususnya pada Pasal 11 ayat (1) dan (2) tentang Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Dinas Sosial Provinsi melakukan verifikasi dan validasi setiap 6 (enam) bulan dalam tahun berjalan, untuk mengantisipasi setiap perubahan yang terjadi pada Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam sistem Basis Data Terpadu, serta melaporkan hasil verifikasi tersebut kepada Gubernur, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Sosial�.
Hal ini dilakukan untuk melihat kelayakan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan setelah 6 (bulan) berlangsungnya program ini dalam tahunan anggaran sesuai dengan kriteria yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dan jika ditemukan penerima bantuan iuran jaminan kesehatan yang tidak layak maka mereka wajib ikut jaminan kesehatan dengan membayar iuran sendiri
Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2014 juga mengatakan bahwa : �Untuk menampung aspirasi dan menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat yang menyangkut data kepesertaan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan, Dinas/Instansi Sosial Provinsi segera membentuk unit pengaduan masyarakat yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Dinas/Instansi Sosial yang bersangkutan Membuka Unit Pengaduan Masyarakat disetiap Dinas Sosial yang di Provinsi dan Kabupaten/Kota�.
Unit Pengaduan Masyarakat bertujuan untuk menampung aspirasi dan laporan dari masyarakat dalam masalah penerima bantuan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah jika, ada fakir miskin dan orang tidak mampu yang masih belum terdaftar sebagai penerima bantuan iuran jaminan kesehatan.



[1] Sadjijono, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksbang PRESSindo, Yogyakarta, 2011. h. 57
                [2] Titik Triwulan Titik, Op.Cit, h.193-196
[3] Ibid, h.66
                [4] Ulber Silalahi, Pemahaman Praktis Asas-Asas Manajemen , Mandar Maju, Bandung, 2003. h. 242.
                [5] Dann Sugandha, Koordinasi, Alat Pemersatu Gerakan Administrasi, Intermedia Jakarta, 1991,  h. 12
[6] Ibid.

Pengertian dan Dasar Hukum Program Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan

Kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia yang tidak dapat dihapus dalam dirinya karena hak kesehatan tersebut telah ada sejak manusia itu lahir dan harus dijaga keberlangsungannya tanpa adanya diskriminasi. Setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara, dan upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggungjawab semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat. 

Hal ini dipertegas oleh konstitusi Republik Indonesia yang tercantum dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan : �Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan�. 

Mewujudkan amanat konstitusi tersebut, pemerintah Indonesia harus melaksanakan suatu program jaminan kesehatan agar hak kesehatan seluruh rakyat dapat terjamin dan program tersebut dilaksanakan dengan prinsip asuransi. Hal tersebut sesuai dengan perintah Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jamainan Sosial Nasional (SJSN) yang menyatakan : �Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas�.

Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang dimaksud dengan asuransi sosial adalah �Suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya�. Sedangkan prinsip ekuitas adalah pelayanan yang didapatkan sesuai dengan jumlah besaran iuran yang dibayarkan oleh peserta.

Berkaitan dengan pengertian asuransi yang dikaitkan dengan hukum perdata Yusuf Shofie yang dikutip dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian menyatakan bahwa : 
�Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung, dan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidup seseorang yang dipertanggungkan�[1].
Dari pengertian asuransi dalam konsep perdata merupakan suatu perjanjian kedua belah pihak yang mana pihak penanggung mengikat diri kepada tertanggung untuk mengganti kerusakan yang dialami tertanggung sesuai dengan klim yang disepakati dan jumlah klim tersebut sifatnya luas sesuai kesepakatan. Sedangkan asuransi sosial merupakan pengumpulan dana yang didapat dari iuran peserta yang dibayarkan secara wajib guna memberikan pertanggungan dan sifat pertanggunganya hanya berada pada resiko sosial ekonomi. Masyarakat miskin yang tidak mampu membayar iurannya pemerintah wajib membayarkan iuran tersebut, ini sesuai ketentuan Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: �Negara mengembangkan sistem jaminan sos\ial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan�. 

Masyarakat miskin yang dimaksud adalah fakir miskin dan orang tidak mampu dimana pemerintah wajib mendaftarkan mereka dalam program jaminan kesehatan. Hal ini dipertegas oleh Pasal 14 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 yang menyatakan :
1. Pemerintah secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
2. Penerima bantuan iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fakir miskin dan orang tidak mampu.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Menjalankan perintah Undang-Undang di atas maka pemerintah mengeluarkan program Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan, hal ini dimaksud agar seluruh fakir miskin dan orang tidak mampu dapat ikut serta dalam program jaminan kesehatan dan menikmati pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah.

PBI (Penerima Bantuan Iuran) adalah peserta Jaminan Kesehatan bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagaimana diamanatkan UU SJSN yang iurannya dibayarkan pemerintah sebagai peserta program Jaminan Kesehatan. Peserta PBI adalah fakir miskin dan orang tidak mampu yang ditetapkan oleh pemerintah dan diatur melalui peraturan pemerintah.

Badan Penyelenggara yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan adalah BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan yaitu Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan PT. ASKES yang ditunjuk oleh pemerintah menjadi BPJS Kesehatan.

Untuk mensukseskan suatu program yang akan diselenggarakan harus dilakukan perlu upaya-upaya yang strategis agar apa yang menjadi tujuan program tersebut dapat tercapai. Upaya tersebut dapat berupa kebijakan-kebijakan dari pemerintah. Menurut Commissie wetgevingsvraagstukken yang dikutip dari Juniar Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat dalam bukunya berjudul Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik yang menyatakan :
�Peraturan kebijakan sebagai suatu peraturan umum tentang pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara (warga negara, juga organ pemerintah lainnya) ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi pemerintahan yang berwenang atas instansi pemerintahan yang secara hirarki lebih tinggi�[2].
Sejalan dengan diselenggarakannya program bantuan iuran jaminan kesehatan yang dibayarkan oleh pemerintah, maka pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait, yaitu antara lain :
  1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Jaminan Kesehatan (SJSN)
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
  3. Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013 tetang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu
  4. Keputusan Menteri Sosial Nomor 147 Tahun 2013 tentang Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan
  5. Surat Edaran Menteri Sosial Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, merupakan suatu peraturan yang mengatur secara khusus tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang meliputi Ketentuan Umum, Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu, Penetapan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Pendaftaran Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, Pendanaan Iuran, sampai Perubahan Data Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan ketentuan lainnya.

Menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 yang dimaksud dengan fakir miskin adalah : �Orang yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kehidupan dirinya dan/atau keluarganya�. 

Pasal 1 ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 yang dimaksud dengan orang tidak mampu adalah : �Orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya�.

Untuk defenisi kemiskinan menurut para ahli, Ritonga Harmonangan menyatakan bahwa : �Kemiskinan adalah kondisi kehidupan yang serba kekurangan yang dialami seseorang atau rumahtangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan minimum yang layak bagi kehidupannya�[3].

Sedangkan menurut Soemardjan Selo mengatakan bahwa �Faktor-faktor penentu atau determinan kemiskinan sangat tergantung pada kemampuan keluarga untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan sosialnya, yang dapat dilihat dari penduduk atau keluarga tersebut�[4].

Penjelasan lebih detilnya kebutuhan dasar yang dimaksud dilihat defenisi kemiskinan dari BPS dikutip dari Siti Internawati yang menyatakan bahwa :
�Kemiskinan adalah ketidak mampuan untuk memenuhi standar tertentu dari kebutuhan dasar makanan setara dengan 2100 kalori perkapita perhari, ditambah nilai pengeluaran untuk kebutuhan dasar bukan makanan yang paling pokok. Dari pengertian kemiskinan tesebut maka dapat dijelaskan semakin miskin seseorang maka semakin tinggi proposisi makanannya sebaliknya semakin kaya semakin tinggi proposisi non makannya. Bila diasumsikan suatu rumahtangga memiliki jumlah anggota rumahtangga (household) rata-rata 4 orang, maka batas kemiskinan rumahtangga adalah:
  1. Rumahtangga dikatakan sangat miskin apabila tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya sebesar 4 � Rp. 120 ribu = Rp. 480 ribu per rumahtangga per bulan.
  2. Rumahtangga dikatakan miskin apabila kemampuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 � Rp. 150 ribu = Rp. 600 ribu per rumahtangga per bulan, tetapi diatas Rp. 480 ribu.
  3. Rumahtangga dikatakan Mendekati Miskin apabila kemapuan memenuhi kebutuhan dasarnya hanya mencapai 4 � Rp. 175 ribu = Rp. 700 ribu per rumahtangga per bulan, tetapi diatas Rp. 600 ribu�.[5]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kemiskinan merupakan keadaan dimana seseorang atau rumahtangga mengalami kekurangan atau kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidupnya berdasarkan standar kebutuhan dasar manusia secara layak sehingga perlu dibantu oleh pemerintah untuk pemenuhan kebutuhan dasar tersebut temasuk kesehatan. 

Ketentuan di atas merupakan suatu acuan agar pada saat pendaftaran fakir miskin dan orang mampu menjadi peserta jaminan kesehatan oleh pemerintah dapat tepat sasaran sesuai dengan kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu yang telah ditetapkan pemerintah. Kriterianya tersebut diatur oleh menteri yang diberi kewenangan agar menjadi panduan bagi lembaga dalam melakukan pendataan. 

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan, menyatakan jaminan kesehatan adalah : �Jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. 

Berkaitan dengan bantuan iuran yang dibayarkan oleh pemerintah, pengeluaran biaya tersebut telah dianggarkan melalui APBN oleh pemerintah setiap tahunnya. Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 menyatakan yang dimaksud dengan Iuran adalah : �Sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau pemerintah�. Pembayaran iuran dimaksud agar peserta jaminan kesehatan tidak merasa terbebani atau jatuh miskin ketika mereka sakit karena biaya pengobatan yang sangat mahal dan yang fakir miskin dan orang tidak mampu dapat menikmati program jaminan kesehatan sehingga kesehatannya dapat terjamin�. 

Peserta dari Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan terdiri dari fakir miskin dan orang tidak mampu yang sudah teregister dan belum teregister. Menurut Diktum Kedua Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu dikatakan fakir miskin dan orang tidak mampu yang teregister apabila rumah tangganya memiliki kriteria sebagai berikut :
  1. tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan/atau mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak mempunyai kemampuan memenui kebutuhan dasar.
  2. mempunyai pengeluaran sebagian besar digunakan untuk memenuhi konsumsi makanan pokok dengan sangat sederhana
  3. tidak mampu atau mengalami kesulitan untuk berobat ke tenaga medis, kecuali Puskesmas atau yang disubsidi pemerintah.
  4. tidak mampu membeli pakaian satu kali dalam satu tahun untuk setiap anggota rumah tangga
  5. mempunyai kemempuan hanya menyekolahkan anaknya sampai jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
  6. mempunyai dinding rumah terbuat dari bambu/kayu/tembok dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah, termasuk tembok yang sudah usang/berlumut atau tidak diplaster
  7. kondisi lantai terbuat dari tanah atau kayu/semen/kramik dengan kondisi tidak baik/kualitas rendah
  8. atap terbuat dari ijuk/rumbia atau genteng/seng/asbes dengan kondisi tidak baik/kulitas rendah
  9. mempunyai penerangan bangunan tempat tinggal bukan dari listrik atau listrik tanpa meteran
  10. luas lantai rumah kecil kurang dari 8 m�/orang, dan
  11. mempunyai sumber mata air minum berasal dari sumur atau mata air tak terlindung/ air sungai/air hujan/lainnya.
Sedangkan fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang belum teregister menurut Diktum Ke Empat Kemensos Nomor 146 Tahun 20013 adalah yang terdapat dalam Lembaga Kesejahteraan Sosial dan/atau di luar Lembaga Kesejahteraan Sosial yang terdiri dari :
  1. Panti Asuhan
  2. Rumah Singgah
  3. Rumah Perlindungan Sosial Anak
  4. Lembaga Perlindungan Sosial Anak
  5. Tempat Penitipan Anak Miskin
  6. Balai Rehabilitas Sosial
  7. Rumah Perlindungan Dan Trauma Center, Atau
  8. Nama lain sejenisnya
Sedangkan fakir miskin dan orang yang tidak mampu yang dimaksud Diktum Ke Empat Kemensos Nomor 146 Tahun 20013 di atas adalah :
  1. gelandangan
  2. pengemis
  3. perseorangan dari Komunitas Adat Terpencil
  4. perempuan rawan sosial ekonomi
  5. korban tindak kekerasan
  6. masyarakat miskin akibad bencana alam dan sosial pasca tanggap darurat sampai satu tahun setelah bencana
  7. perseorangan penerima manfaat Lembaga Sosial
  8. penghuni Rumah Tahanan
  9. penderita Thalassaemia Mayor
  10. penderita kejadian Ikutan Paksaan Imunisasi (IPI)
Untuk berhasilnya Program Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan harus dilakukan upaya-upaya strategis agar penyelenggaraan program tersebut berjalan dengan baik. Berkaitan dengan upaya strategis penyelenggaraan pemerintahaan Titik Triwulan Tutik menyatakn bahwa :
�Upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan adalah antara lain dengan mengefektifkan pengawasan baik melaui pengawasan lembaga peradilan, pengawasan dari masyarakat, maupun pengawasan melaui lembaga lembaga ombusdman�.[6] .
Berkaitan dengan pentingnya pengawasan Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir mengatakan bahwa : �Pengawasan adalah setiap usaha dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas yang dilaksanakan menurut ketentuan dan saran yang hendak dicapai�[7].
Pengawasan yang perlu dilakukan agar program pemerintah ini dapat terselenggara dengan baik, maka perlu adanya pengawasan intern dan pengawasan ekstern instansi penyelenggara program tersebut. Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir mengartikan pengawasan intern dan pengawasan ekstern adalah :
�Pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri contohnya pucuk pimpinan dari lembaga atau organisasi tersebut tetapi biasanya pengawasan ini hanya dilakukan oleh pimpinan unit saja. Sedangkan pengawasan ekstern merupakan pengawasan yang dilakukan oleh organisasi dari luar dimana pengawasan ini dilakukan oleh lembaga atau instansi lain contohnya pengawasan dibidang keuangan dilakukan oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK)�[8].
Selain pengawasan intern dan ekstern dalam melaksanakan sebuah program pemerintah perlu adanya juga suatu pengawasan melekat, Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir juga mengatakan bahwa
�Pengawasan melekat yaitu berupa tindakan atau kegiatan atau usaha untuk mengawasi dan mengendalikan anak buah secara langsung, yang harus dilakukan sendiri oleh setiap pimpinan organisasi�[9].
Pengawasan melekat dilihat dari cara kerjanya maka, pengawasan timbul secara otomatis pada saat sorang pejabat/petugas melakukan tindakan pada saat melakukan tugasnya sehingga daya kerja pengawasan melekat ini dapat mencegah kesalahan dan kecurangan terjadi.

Pengawasan yang dilakukan agar sasaran penerima bantuan iuran jaminan kesehatan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 146 Tahun 2013.tentang Penetapan Dan Pendataan Kriteria Fakir Miskin Dan Orang Tidak Mampu.

Pengawasan ini dilakukan oleh menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan dan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait. jika ditemukan kejanggalan maka Menteri Sosial dapat melakukan perubahan data penerima bantuan iuran tersebut.
Pasal 11 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan menyatakan :
1.    Perubahan data PBI Jaminan Kesehatan dilakukan dengan:
a.    penghapusan data fakir miskin dan orang tidak mampu yang tercantum sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena tidak lagi memenuhi kriteria; dan
b.    penambahan data fakir miskin dan orang tidak mampu untuk dicantumkan sebagai PBI Jaminan Kesehatan karena memenuhi kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu.
Perubahan data tersebut dilakukan dengan verifikasi dan validasi kambali data penerima bantuan iuran jaminan kesehatan setiap 6 (enam) bulan dalam tahun anggaran berjalan yang dilakukan oleh Dinas Sosial yang berada di Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Menurut Kamus Hukum verifakasi adalah : �Pemeriksaan, penelitian, untuk meneliti kebenaran suatu hal�[10]. Sedangkan pengertian validasi dalam Kamus Hukum menyatakan adalah : �Pernyataan tentang sahnya sesuatu�[11]. Jadi, verifikasi dan validasi data yang dilakukan ini untuk mengkaji kembali kelayakan dari peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan setelah 6 (bulan) dalam anggaran setiap tahunnya.
Pasal 1 ayat (10) Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan yang dimaksud dengan menteri adalah : �Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait menurut penjelasan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2012 menyatakan : �Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, tenaga kerja dan transmigrasi, dalam negeri, dan pimpinan lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik untuk melakukan pendataan�.
Perubahaan data penerima bantuan iuran jaminan kesehatan  ini dilakukan untuk melihat masih layak atau tidaknya fakir miskin dan orang tidak mampu mendapatkan bantuan iuran tersebut dan jika ditemukan tidak layak lagi maka mereka ikut jaminan kesehatan dengan membayar iuran sendiri.



[1] Yusuf Shofie, �Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya� PT. Citra Aditya Bakti,Bandung, 2000, h. 157
                [2]Juniar Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Administrasi Negara Dan Kebijakan Pelayanan Publik, NUANSA, Bandung, 2009. h. 156
                [3] Ritonga Harmonangan, Perhitungan Penduduk Miskin, Badan Pusat Statistik (BPS), Jakarta, 2003. h.1
                [4] Soemarjan Selo, Menyusun Liku-liku Pendataan Keluarga , BKKBN, Jakarta, 2003. h. 29
                [5] Siti Internawati, �Studi Pelaksanaan Pendataan Keluarga Miskin Dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di Desa Danau Redan Kecamatan Teluk Pandan� eJournalFakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Samarinda, 2013. h. 312
[6] Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Prestasi Pustakaraya, Jakarta, 2010, h. 212
[7]Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat,Rineka Cipta, Jakarta, 1994. h.21
                [8] Ibid, h. 28-29
                [9] Ibid, h. 71
                [10]J.C.T. Simorangkir et.Al, Kamus Hukum, cet., XIV, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. h. 176
[11]Ibid, h.175

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *