Blog untuk Pendidikan

Senin, 15 Desember 2014

Sejarah PEGADAIAN

SampanPesisir - Sejarah Pegadaian dimulai pada saat Pemerintah Penjajahan Belanda (VOC) mendirikan BANK VAN LEENING yaitu lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan sistem gadai, lembaga ini pertama kali didirikan di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1746.

Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan Indonesia dari tangan Belanda (1811-1816) Bank Van Leening milik pemerintah dibubarkan, dan masyarakat diberi keleluasaan untuk mendirikan usaha pegadaian asal mendapat lisensi dari Pemerintah Daerah setempat (liecentie stelsel).Namun metode tersebut berdampak buruk, pemegang lisensi menjalankan praktek rentenir atau lintah darat yang dirasakan kurang menguntungkan pemerintah berkuasa (Inggris). Oleh karena itu, metode liecentie stelsel diganti menjadi pacth stelsel yaitu pendirian pegadaian diberikan kepada umum yang mampu membayarkan pajak yang tinggi kepada pemerintah.

Pada saat Belanda berkuasa kembali, pola atau metode pacth stelsel tetap dipertahankan dan menimbulkan dampak yang sama dimana pemegang hak ternyata banyak melakukan penyelewengan dalam menjalankan bisnisnya. Selanjutnya pemerintah Hindia Belanda menerapkan apa yang disebut dengan cultuur stelsel dimana dalam kajian tentang pegadaian, saran yang dikemukakan adalah sebaiknya kegiatan pegadaian ditangani sendiri oleh pemerintah agar dapat memberikan perlindungan dan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatsblad (Stbl) No. 131 tanggal 12 Maret 1901 yang mengatur bahwa usaha Pegadaian merupakan monopoli Pemerintah dan tanggal 1 April 1901 didirikan Pegadaian Negara pertama di Sukabumi (Jawa Barat), selanjutnya setiap tanggal 1 April diperingati sebagai hari ulang tahun Pegadaian.

Pada masa pendudukan Jepang, gedung Kantor Pusat Jawatan Pegadaian yang terletak di Jalan Kramat Raya 162 dijadikan tempat tawanan perang dan Kantor Pusat Jawatan Pegadaian dipindahkan ke Jalan Kramat Raya 132. Tidak banyak perubahan yang terjadi pada masa pemerintahan Jepang, baik dari sisi kebijakan maupun Struktur Organisasi Jawatan Pegadaian. Jawatan Pegadaian dalam Bahasa Jepang disebut Sitji Eigeikyuku, Pimpinan Jawatan Pegadaian dipegang oleh orang Jepang yang bernama Ohno-San dengan wakilnya orang pribumi yang bernama M. Saubari.

Pada masa awal pemerintahan Republik Indonesia, Kantor Jawatan Pegadaian sempat pindah ke Karang Anyar (Kebumen) karena situasi perang yang kian terus memanas. Agresi militer Belanda yang kedua memaksa Kantor Jawatan Pegadaian dipindah lagi ke Magelang. Selanjutnya, pasca perang kemerdekaan Kantor Jawatan Pegadaian kembali lagi ke Jakartadan Pegadaian kembali dikelola oleh Pemerintah Republik Indonesia. Dalam masa ini Pegadaian sudah beberapa kali berubah status, yaitu sebagai Perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961, kemudian berdasarkan PP.No.7/1969 menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN), selanjutnya berdasarkan PP.No.10/1990 (yang diperbaharui dengan PP.No.103/2000) berubah lagi menjadi Perusahaan Umum (PERUM) hingga sekarang.

Kini usia Pegadaian telah lebih dari seratus tahun, manfaat semakin dirasakan oleh masyarakat, meskipun perusahaan membawa misi public service obligation, ternyata perusahaan masih mampu memberikan kontribusi yang signifikan dalam bentuk pajak dan bagi keuntungan kepada Pemerintah, disaat mayoritas lembaga keuangan lainnya berada dalam situasi yang tidak menguntungkan.

PEMBELAJARAN SEJARAH DAN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN

�Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau dan mampu menghargai sejarah perjuangan para pendahulunya�. Dalam konteks ini, sudahkan kita sebagai bangsa yang besar? Benarkah kita sebagai bangsa sudah sangat perhatian dan menghargai para pahlawan pejuang bangsa yang telah  mengorbankan jiwa dan raganya untuk kepentingan tanah air, masyarakat dan Negara Indonesia?  Dengan pertanyaan-pertanyaan ini kitapun menjadi ragu dan termangu, apakah kita sudah termasuk bangsa yang menghargai sejarah perjuangan para pahlawan kita sendiri, mengingat di antara kita banyak yang tidak memahami sejarah perjuangan bangsa.  Indikator yang terlihat salah satunya banyak anggota masyarakat dan para remaja kita yang tidak senang, tidak berminat dengan pelajaran sejarah. Pelajaran sejarah di sekolah menjadi mata pelajaran yang tidak menarik dan membosankan. Pelajaran sejarah dipandang  menjadi pelajaran  yang tidak penting, apalagi tidak di UN-kan. Posisi mata pelajaran di sekolah dipandang sebagai mata pelajaran tambahan yang dapat dibelajarkan oleh siapa saja. Mengapa demikian? Slaha satu sebabnya bisa ditebak karena pembelajaran sejarah kita cenderung hafalan dan kurang bermakna dalam kehidupan keseharian, yang berada di tengah-tengah dinamika kehidupan  masyarakat yang cenderung konsumtif-materialistik. Hal ihwal termasuk mata ajar yang tidak terkait langsung dengan soal materi dan ekonomi, tidak begitu diminati.
       Pembelajaran sejarah sebenarnya tidak sekedar menjawab pertanyaan what to teach, tetapi bagaimana proses pembelajaran itu dilangsungkan agar dapat menangkap dan menanamkan nilai serta mentransformasikan pesan di balik realitas sejarah itu kepada peserta didik. Proses pembelajaran ini tidak sekedar peserta didik menguasai materi ajar, tetapi diharapkan dapat membantu pematangan kepribadian peserta didik sehingga mampu merespon dan beradaptasi dengan perkembangan sosio kebangsaan yang semakin kompleks serta tuntutan global yang semakin kencang.
       Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforianya ternyata menyisakan luka mendalam di berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berbagai bentuk pelanggaran masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur, anarkhisme dan ketidaksabaran, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya kemandirian dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita. Semangat kebangsaan, jiwa kepahlawanan, rela berkorban, saling bergotong royong  di kalangan masyarakat kita mulai menurun. Kita seperti telah kehilangan karakter yang selama beratus-ratus tahun bahkan berabad-abad kita bangun. Pada kondisi yang seperti ini nampaknya pada moment peringatah �Hari Pahlawan� kali ini menjadi menarik untuk mencoba kembali menelaah kaitan antara pembelajaran sejarah dengan nilai-nilai kepahlawanan.

MAKNA PEMBELAJARAN SEJARAH
      Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, pembelajaran sejarah sebenarnya memiliki makna yang strategis. Pembelajaran sejarah adalah suatu proses untuk membantu  mengembangkan potensi dan kepribadian  peserta didik melalui pesan-pesan sejarah  agar menjadi warga bangsa yang arif dan bermartabat. Sejarah dalam hal ini merupakan totalitas dari aktivitas manusia di masa lampau (Walsh, 1967), dan sifatnya dinamis. Maksudnya, bahwa masa lampau itu bukan sesuatu final,   tetapi bersifat terbuka dan terus berkesinambungan dengan masa kini dan yang akan datang. Karena itu sejarah dapat diartikan sebagai  ilmu yang meneliti dan mengkaji secara sistematis dari keseluruhan perkembangan masyarakat dan kemanusiaan di masa lampau dengan segala aspek kejadiannya, untuk  kemudian dapat memberikan penilaian sebagai pedoman penentuan keadaan sekarang, serta cermin untuk masa yang akan datang.
       Lebih jauh pengertian sejarah juga berkait dengan persoalan kemanusiaan dan sebuah teater di mana manusia menjadi pemain watak, berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan keteladanan yang sudah ada. Sejarah  akan mendidik manusia untuk memahami �sangkan paran � dan keberadaan dirinya (Soedjatmoko, 1986) sehingga dapat memperkuat identitas diri dan identitas nasional, atau identitas sebagai suatu bangsa. Dalam kaitan ini maka pembelajaran sejarah  berfungsi untuk menumbuhkan kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah suatu orientasi intelektual, dan suatu sikap jiwa untuk memahami keberadaan dirinya sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai suatu bangsa (Soedjatmoko, 1986). Taufik Abdullah (1974) menegaskan bahwa kesadaran sejarah tidak lain adalah kesadaran diri. Kesadaran diri dapat dimaknai sadar akan keberadaan dirinya sebagai individu, sebagai makhluk sosial termasuk sadar sebagai bangsa dan sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Sardiman A.M., 2005). Dalam konteks ini pada diri manusia sebenarnya ada dua dimensi, yakni dimensi kekhalifahan dan dimensi kehambaan.
       Dengan pemahaman tersebut,  pembelajaran sejarah dituntut paling tidak dapat mengaktualisasikan dua hal yakni: (1) pendidikan dan pembelajaran intelektual, (2) pendidikan dan pembelajaran moral bangsa, civil society  yang demokratis dan bertanggungjawab kepada masa depan bangsa (Djoko Suryo, 1991). Hal yang pertama menuntut pembelajaran sejarah tidak hanya menyajikan pengetahuan faktual, namun dituntut untuk memberikan latihan berfikir kritis, mampu menarik kesimpulan,  memahami makna dari suatu peristiwa sejarah menurut kaidah dan norma keilmuan.  Pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa dan bagaimana, penting untuk dikembangkan dalam proses pembelajaran sejarah.  Sementara itu hal yang  kedua menunjuk pada pembelajaran sejarah yang berorientasi pada pendidikan kemanusiaan yang memperhatikan nilai-nilai luhur, norma-norma, dan aspek kemanusiaan lainnya.
       Dengan mengembangkan dua hal : pendidikan intelektual dan pendidikan moral atau  pendidikan kemanusiaan, maka arah pembelajaran sejarah diharapkan dapat mencapai tujuan yang menopang tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pembelajaran sejarah akan dapat melandasi pendidikan kecerdasan intelektual, sekaligus ikut mendasari pendidikan yang berorientasi pada kecerdasan emosional bahkan kecerdasan spiritual dalam rangka meningkatkan martabat manusia Indonesia. Dalam pelaksanaan di sekolah, tujuan  pembelajaran sejarah tersebut terkait dengan  adanya tujuan yang dikenal dengan istilah instructional effects dan tujuan yang �mengikutiatau tujuan lebih lanjut yang disebut nurturant effects (uraian selengkapnya lih.dalam Sardiman AM.,2005). Mencermati rumusan tersebut, nampak jelas bahwa di samping aspek kognitif, dimensi afektif menempati porsi yang cukup penting dalam tujuan pembelajaran sejarah. Namun dalam kenyataannya timbul kritik bahwa pendidikan kita cenderung intelektualistik dan lebih banyak bersifat kognitif.
        Begitu juga dalam pembelajaran sejarah masih cukup memprihatinkan. Pembelajaran sejarah lebih banyak hafalan dan bersifat kognitif.  Akibatnya pembelajaran sejarah tidak mampu menjangkau kepada aspek-aspek moralitas, menyangkut kecerdasan emosional dan spiritual. Pembelajaran sejarah kita masih jarang yang mampu memasuki wilayah ranah afektif, seperti sikap arif, menumbuhkan semangat kebangsaan, bangga terhadap bangsa dan negerinya, apalagi sampai memahami hakikat dirinya sebagai manifestasi kesadaran sejarah yang paling tinggi, sehingga memunculkan sikap dan tindakan sebagaimana dicontohkan oleh para pejuang dan pahlawan kita.

MEMBANGUN NILAI-NILAI KEPAHLAWANAN.
       Pembelajaran sejarah, akan mengembangkan aktivitas peserta didik untuk melakukan telaah berbagai peristiwa, untuk kemudian dipahami dan diinternalisasikan kepada dirinya sehingga melahirkan contoh  untuk bersikap dan bertindak. Dari sekian peristiwa itu antara lain pula ada pesan-pesan yang terkait dengan nilai nilai kepahlawanan seperti  keteladanan, rela berkorban, cinta tanah air, kebersamaan, kemerdekaan, kesetaraan, nasionalisme dan patriotisme (lih. Kabul Budiyono, 2007). Beberapa nilai ini  dapat digali dan dikembangkan melalui pembelajaran sejarah yang bermakna . Untuk itu memang sangat dituntut adanya kreativitas dari para guru sejarah. Para guru sejarah harus menggali dan mampu mentransformasikan nilai-nilai tersebut kepada peserta didik.
       Di dalam pelajaran sejarah banyak pokok bahasan atau topik-topik yang mengandung nilai-nilai kesejarahan tersebut. Misalnya ketika sedang membahas periode  penjajahan, sangat tepat untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai jati diri dan hak-hak individu atau hak-hak asasi manusia, nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Bagaimana perlawanan yang dilancarkan oleh Sultan Agung, oleh Pangeran Diponegara, oleh Cut Nyak Dhien. Tokoh-tokoh ini berjuang tanpa pamrih demi kebebasan tanah tumpah darahnya, demi membela rakyat yang menderita akibat kekejaman kaum penjajah. Harta, jiwa dan raga dipertaruhkan demi tegaknya harga diri dan kedaulatan sebagai bangsa Berbagai bentuk perjuangan ini  secara dikotomis dapat  diaktualisasikan  nilai-nilai kemerdekaa.  � Kemerekaan ialah hak segala bangsa, oleh karena itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan�. Satu kalimat dari Pembukaan UUD 1945 ini secara kreatif dapat dibahas satu atau dua kali pertemuan. Para peserta didik diajak untuk memahami dan menghayati nilai-nilai kemerdekaan diri, nilai-nilai perikemanusiaan dan nilai keadilan untuk kemudian menjadi bagian dari sikap dan perilakunya. Dalam hal ini guru dituntut untuk mampu menjelaskan dan meyakinkan kepada peserta didik agar meresapi bahwa tindakan kaum penjajah di bumi Nusantara sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keadalilan sebagai hak-hak asasi manusia.  Hak-hak individu yang paling asasi dirampas. Tidak ada kebebasan berserikat, tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat dan memeluk agama secara utuh.  Padahal Tuhan menciptakan setiap bangsa, setiap manusia anggota masyarakat dalam keadaan sama, kecuali karena kadar keimanannnya. Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang paling sempurna dengan kedudukan mulia yakni sebagai khalifah (pemimpin) di muka bumi yang bertugas membangun dunia demi kemaslahatan semua orang. Jadi penjajahan sangat jelas bertentangan dengan fitrah dan ciptaan Tuhan. Membahas topik-topikpada periode penjajahan ini, peserta didik juga dapat diajak untuk menghayati dan menumbukan sikap patriotisme, sikap dan tindakan anti penjajahan. Harus diyakinkan kepada peserta didik bahwa tindak penajajahan itu adalah perilaku dholim karena menyengsarakan rakyat banyak. Dalam konteks ini dapat diaktualisasikan konsep jihad, �dan barang siapa berjihad di jalan Tuhan, surga adalah pahalanya.�
       Pembahasan topik-topik yang berkenaan dengan periode pergerakan nasional, guru perlu menekankan nilai-nilai nasionalisme, persatuan dan kesatuan di antara pluralisme atau keanekaragaman, toleransi dan saling menghargai. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa dan golongan. Tuhan telah menciptakan ini semua sebagai kekayaan dan kekuatan bangsa. Tuhan telah mengajarkan kepada kita bahwa diciptakan-Nya manusia bersuku-suku dan golongan-golongan agar kita saling mengenal dan menjalin tali silaturakhim. Kalau sudah demikian maka dengan didorongkan oleh keinginan luhur yakni cita-cita ingin merdeka, maka terwujudlah persatuan dan kebersamaan. Usaha untuk mewujudkan persatuan ini berhasil dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa: Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yakni Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi simbol kebersamaan dalam keanekaragaman dan sekaligus memberikan semangat untuk menggalang persatuan demi terwujudnya cita-cita kemerdekaan. Sumpah Pemuda adalah ujud nyata dari silaturakhim nasional, �dan barang siapa yang mau menghidup-hidupkan silaturakhim maka akan dipanjangkan usianya dan diluaskan rezekinya.� Inilah konsep nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai moral, nilai-nilai keagaaman yang oleh Toynbee dikatakan sebagai nasionalisme yang dibimbing oleh nilai-nilai universal agama-agama atas (higher religions) (lih. A. Syafii Maarif, 1989).  Nasionalisme yang tidak dibimbing oleh nilai-nilai moral keagamaan, dapat terjebak pada dua kecenderungan. Pertama, nasionalisme yang sekuler, ekstrim berlebihan yang dapat melahirkan chauvinisme. Bentuk nasionalisme inilah yang dikritik oleh Toynbee, karena telah menyebabkan berkobarnya  PD II yang menghancukan peradaban manusia. Kedua, nasionalisme yang lemah sehingga menjadikan pendukungnya tidak memiliki kebanggaan nasional dan jati diri bangsa. Yang kedua ini sangat erat kaitannya dengan model pembelajaran yang hanya kognitif. Guru secara kreatif dapat membahas materi ini, misalnya dengan topik �Telaah Teks Sumpah Pemuda�
       Selanjutnya untuk membahas topik-topik yang terkait dengan materi ajar pada periode kemerdekaan, guru dapat mengaktualisasikan dan menanamkan nilai-nilai esensial yang relevan kepada para peserta didik, seperti nilai-nilai kemedekaan, kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab, patriotisme, masalah kepemimpinan dan keteladanan, yang telah dipertunjukkan oleh para pejuang dan pahlawan nasional kita. Agar lebih menumbuhkan kesadaran dan merangsang emosi peserta didik, guru sebagai fasilitator dan motivator dapat membelajarkan peserta didik untuk menelaah biografi tokoh pejuang atau pahlawan tertentu, misal Bung Karno, Bung Hatta, Panglima Besar Jenderal Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX untuk mendapatkan nilai-nilai kejuangan, kepemimpinan dan keteladanan.  
       Pembelajaran topik-topik dan nilai-nilai pada periode kemerdekaan itu akan lebih �dahsyat� (sangat bermakna), apabila guru secara kreatif mau memberi sentuhan dan atau menggunakan perspektif spiritualisme atau nilai-nilai moral. (Uraian di atas sebenarnya sudah banyak disinggung). Contoh ilustrasi tentang kemerdekaan. Kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Kemerdekaan fitrah dan hak asasi manusia sebagai ciptaan Tuhan. Karena itu wajar kalau bangsa Indonesia berusaha dengan segala daya, dengan penuh pengorbanan baik jiwa, raga maupun harta. Dengan semboyan �merdeka atau mati� dan disertai dengan semangat jihad, bangsa Indonesia akan berjuang sampai titik darah penghabisan untuk sebuah kemerdekaan. Hal ini menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hal yang sangat asasi dan tahapan sangat penting bagi eksistensi suatu bangsa.

PENUTUP
      Demikian  beberapa ilustrasi bagaimana mengembangkan materi dan melaksanakan pembelajaran sejarah untuk menghidupkan nilai-nilai kejuangan dan kepahlawanan. Banyak materi pembelajaran yang dapat dimanfaatkan untuk membangun nilai-nilai kepahlawanan itu.  Tentu hal ini sangat menuntut keberanian dan kreativitas guru.  Guru perlu merubah pembelajaran sejarah yang kognitif menjadi pembelajaran yang lebih bermakna, kontekstual, dan menyentuh aspek-aspek afektif atau kecerdasan emosional, serta kecerdasan spiritual. Pembelajaran sejarah yang bersifat kognitif hanya akan melahirkan kepuasan dengan durasi sesaat, sebaliknya pembelajaran sejarah yang mampu melatih kecerdasan emosional dan spiritual, akan melahirkan kesadaran sejarah yang sejati, dan dapat mengaplikasikan nilai-nilai kejuangan dari para pahlawan bangsa.
















                                    DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syafii Maarif,  (1989).  �Menggugat Toynbee�, dalam Eksponen, edisi 5 Maret 1989. Juga lihat Ahmad Syafii Maarif (1985), Al Qur�an : Realitas Sosial dan Limbo Sejarah (Sebuah Refleksi), Bandung: Pustaka.
Djoko Suryo(1996). �Pengembangan Kajian Sejarah dalam Kurikulum SLTA� Makalah, disampaikan pada acara seminar dalam rangka Dies Natalis  IKIP Semarang, 13 Maret 1991.
Kabul Budiyono, (2007). Nilai-nilai Kepribadian dan Kejuangan Bangsa Indonesia, Bandung : Alfabeta.
Sardiman AM. (2005). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar . Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko (1986). Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES
Taufik Abdullah  (1974). �Masalah Sejarah Daerah dan Kesadaran Sejarah�, BulletinYaperna No. 2 tahun I, Jakarta: hal. 10.

Walsh, W.H. (1967). Philosophy of History : An Introduction. New York: Harper and Row Publisher.

SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI

A. Pengertian Filologi
Kita ketahui bahwa sejarah perjalanan umat manusia telah dimulai sejak lama, secara pasti tidak. Diketahui berapa ribu atau berapa juta tahun yang lalu umur sejarah manusia di muka bumi ini dimulai. Bukti-bukti sejarah kehidupan manusia di masa lampau itu dapat kita temukan di masa kini.
Banyak peninggalan nenek moyang yang bisa kita jumpai, baik dalam bentuk benda fisik seperti candi, prasasti, senjata, alat-alat rumah tangga, atau naskah, maupun dalam bentuk nonfisik seperti tradisi, budaya, pola pikir, dan sejenisnya. Sebagai manusia dan bangsa yang menghargai peninggalan nenek moyangnya, upaya mempelajari, melestarikan, dan menumbuh kembangkan warisan leluhur itu Kita lakukan.
Naskah-naskah klasik sebagai salah satu jenis produk budaya pada masa lampau cukup penting keberadaannya. Penting karena dalam naskah-naskah tersebut terkandung banyak hasil pemikiran pada cendikiawan pendahulu kita yang kini kita warisi. Karya-karya tersebut harus kita pelajari agar hormat kita kepada nenek moyang kita bertambah karena perkenalan kita dengan karya-karya mereka yang berkualitas. Beragamnya warisan sastra klasik bangsa kita oleh para pakar disebutnya dengan beberapa istilah. Akan tetapi, yang dimaksud tetap sama, mengacu kepada karya-karya tradisional dari daerah-daerah nusantara. Keragaman yang ditandai bahasa yang digunakan, beragama karena budaya yang mereka kenalkan lewat karya-karyanya, beragam karena pemikiran yang mereka lontarkan. Keseragaman pada satu hal, yakni hampir semua karya mereka tidak pernah dimilikinya sebagai karya sendiri. Jarang yang mencantumkan penulis dalam karya klasik. Penulis atau mungkin penyalin beranggapan bahwa karya itu milik bersama.
Keragaman karya klasik itu dapat ditinjau dari berbagai segi yang umum, yakni (1) naskah- naskah yang berisi teks sejarah, (2) naskah-naskah keagamaan, (3) naskah-naskah sains, dan (4) naskah-naskah kesusastraan. Naskah yang sangat berharga itu berserakan tempatnya. Banyak yang belum dikenal masyarakat. Kekhawatiran atas kepunahan nasakah itu harus diwaspadai, harus ada yang mencoba melestarikannya, harus ada yang mengenalkannya dalam bahasa sekarang. Oleh karena itu, salah satu studi keilmuan mengarahkan pandangannya ke sana, pada naskah-naskah, yaitu filologi. Filologi merupakan salah satu bentuk usaha manusia menggali harta terpendam itu.
Lebih khusus lagi, Filologi merupakan ilmu yang bidang kajiannya adalah meneliti naskah- naskah klasik peninggalan masa lalu. Kajian atau studi yang dilakukan dalam filoogi merupakan kajian kritis karena di dalamnya ada proses memilah dan memilih dengan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi. Segala sesuatu dilakukan untuk mendapat naskah asli atau setidaknya mendekati keaslian. Dalam filologi, naskah yang demikian disebut naskah yang autoritatif.
Penelitian naskah dalam filologi tidak hanya meneliti bentuk fisik naskah tetapi juga sampai kandungan terdalam yang ada di dalamnya. Ada upaya untuk merekonstruksiatau menghadirkan kembali ide-ide, pola pikir, atau rumusan-rumusan hikmah kehidupan yang telah dicapai para pendahulu kita.
Dengan demikian filologi merupakan ilmu yang menghubungkan kita dangan landasan kokoh masa lalu agar maksimal meningkatkan kualitas kita (sebagai bangsa yang memiliki sejarah yang demikian panjang) di masa kini dan masa yang akan datang.

B. Tujuan Filologi
Secara umum, filologi bertujuan mengungkapkan hasil pemikiran, pengalaman, dan budaya yang hidup pada masa lalu. Dengan cara seperti itu muncul juga manfaatnya, yakni terkodifikasinya nilai-nilai budaya klasik, melestarikan budaya yang terkandung dalam naskah itu dan memperkenalkannya kepada masyarkat.
Tujuan-tujuan khusus yang menjadi ciri khas flologi sebagai berikut:
1. mengungkapkan gambaran naskah dari segi fisik dan isinya;
2. mengemukakan persamaan dan perbedaan antarnaskah yang berbeda;
3. menjelaskan pertalian antarnaskah.
4. menguraikan fungsi isi, cerita dan fungsi teksnya.
5. Menyajikan suntingan teks yang mendekati teks asli, autoritatif, bersih dari kesalahan untuk keperluan penelitian dalam berbagai bidang ilmu (sastra, bahasa, filsafat).
6. Menyajikan terjemahan hasil suntingan teks dan tulisan dan bahasa yang mudah dipahami masyarakat luas (misalnya dalam tulisan dan bahasa Indonesia).

Kebudayaan Yunani lama memiliki pengaruh cukup besar bagi masyarakat Barat pada umumnya. Peranan nilai-nilai kebudayaan Yunani lama terlihat dari berbagai aspek kehidupan. Mitologi Yunani sering dirasa pas untuk mengungkapkan pikiran. Bahkan para ilmuwan sering menggunakan istilah yang berasal dari legenda Yunani kuna.
Menyajikan ilmu Yunani kuna sangat penting, mengingat kebudayaan Yunani kuna hingga saat ini tetap dianggap sebagai sumber bagi segala ilmu pengetahuan. Usaha untuk mengungkapkan kebudayaan Yunani kuna ini dilakukan oleh ilmu filologi yang juga berasal dari kebudayaan Yunani kuna.

C. Filologi di Eropa Daratan
Ilmu filologi diketahui berasal dari kawasan kerajaan Yunani, tepatnya di kota Iskandariyah. Pada abad ke-3 s.M, bangsa ini berhasil membaca naskah-naskah Yunani lama yang berasal dari abad ke-8 s.M. dalam huruf yang berasal dari huruf bangsa Funisia, dan kemudian dikenal sebagai huruf Yunani. Huruf-huruf ini ditulis pada satu sisi bahan yang terbuat dari daun papirus. Bentuknya berupa gulungan, sehingga tidak mudah untuk menyimpannya karena memerlukan tempat yang luas, dan setelah dibaca harus digulung kembali agar bagian awal naskah selalu berada di depan. Isinya adalah rekaman tradisi lisan mereka pada abad-abad sebelumnya. Bahan yang diteliti antara lain karya sastra Homerus, dan ilmu pengetahuan yang hingga saat ini tetap memiliki nilai agung seperti tulisan Socrates dan Aristoteles.
Pada abad ke-3 S.M, kota Iskandariyah merupakan pusat ilmu pengetahuan. Banyak naskah dengan berbagai disiplin ilmu ditelaah. Naskah-naskah tersebut dikenali huruf-hurufnya, bahasanya, dan dipahami isinya. Kemudian naskah tersebut ditulis kembali dengan huruf dan bahasa yang digunakan pada saat pengerjaan itu. Para penggarap naskah ini kemudian dikenal sebagai ahli filologi. Dan metode yang mereka gunakan kemudian disebut ilmu filologi.
Penggarapan naskah tidak hanya dilakukan demi ilmu pengetahuan. Naskah-naskah juga disalin untuk kemudian diperdagangkan. Semakin banyak usaha penyalinan naskah, namun semakin besar pula kemungkinan terjadinya kerusakan pada bacaan, karena proses penyalinan yang tidak sesuai, atau pun karena kemampuan penyalin yang terbatas. Kegiatan filologi Iskandariyah makin ramai hingga jatuhnya kota ini ke tangan bangsa Romawi pada abad ke-1 s.M. Selanjutnya, kegiatan filologi berpusat di kota Roma. Bahan telaah utamanya tetap naskah Yunani kuna. Pada abad kesatu, perkembangannya berupa pembuatan resensi naskah-naskah tertentu. Kegiatan ini terus berkembang hingga pada abad ke-4 kerajaan Romawi terpecah menjadi Romawi Barat dan Romawi Timur. Peristiwa ini mempengaruhi perkembangan filologi selanjutnya.

D. Filologi di Romawi Barat dan Romawi Timur
Di daerah Romawi Barat, kegiatan filologi mengikuti kegiatan filologi Yunani abad ke-3 S.M. Penggarapan naskah dalam bahasa Latin yang sudah digarap secara filologis sejak abad ke-3 S.m. Bentuk naskah latin itu berupa puisi dan prosa yang banyak mewarnai dunia pendidikan di Eropa pada abad-abad selanjutnya. Tradisi ini dikembangkan di kerajaan Romawi Barat, dan bahasa Latin menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Sejak terjadi Kristenisasi di Eropa, kegiatan filologi digunakan untuk kepentingan agama, dan naskah-naskah Yunani kuna ditinggalkan karena dianggap jahiliah. Sejak abad ke-4, mulai digunakan codex (bentuk buku) menggunakan bahan kulit binatang yang lebih awet dari pada papirus, dan lebih mudah dibaca karena telah dilengkapi dengan nomor halaman.
Pada waktu telaah teks Yunani di Romawi Barat tampak mundur, tampak mulai bermunculan pusat-pusat teks Yunani di Romawi Timur. Masing-masing kota menjadi pusat studi dalam bidang tertentu yang selanjutnya berkembang menjadi perguruan tinggi dan menghasilkan tenaga ahli dalam bidang masing-masing. Pada masa ini, mulai muncul kebiasaan menulis tafsir di tepi sebuah naskah, yang disebut scholia. Meskipun begitu, Romawi Timur dianggap kurang ahli dalam menelaah teks-teks Yunani lama. Hal ini melatar belakangi diadakannya kuliah filologi di berbagai perguruan tinggi.

E. Filologi di Zaman Renaisans
Menyebarnya era Renaisans di Eropa pada abad ke-13 hingga ke-16 menyebabkan munculnya kecenderungan pada aliran humanisme. Kata asal uhumanisme� dari �uhumaniora� (kata Yunani) atau �uamunista� (kata Latin), yang semula berarti guru yang mengelola tata bahasa, retorika, puisi, dan filsafat. Karena bahan yang diperlukan berasal dari teks klasik, terjadi pergeseran arti menjadi aliran yang mempelajari sastra klasik untuk menggali kandungan isinya. Maka, kegiatan telaah teks lama timbul kembali. Ketika kekuasaan Romawi Timur (Bizantium) jatuh ke tangan bangsa Turki pada abad ke-15, ahli filologi berpindah ke Eropa Selatan, terutama Roma. Di sana mereka menjadi pengajar, penyalin naskah, atau penerjemah teks Yunani dalam bahasa Latin. Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada abad ke-15 juga mempengaruhi perkembangan filologi. Kemudahan menyalin naskah dan kebutuhan naskah yang semakin meningkat dari perguruan tinggi meningkatkan perkembangan filologi. Filologi juga digunakan untuk kepentingan telaah ilmu agama. Dalam perkembangannya, filologi sempat digunakan untuk mengkaji naskah nonklasik. Hasilnya, pengertian filologi menjadi kabur dengan ilmu bahasa. Mulai abad ke-19 ilmu bahasa itu berdiri sendiri, menjadi Linguistik, dan Filologi mendapat pengertian aslinya kembali.

F. Filologi di Kawasan Timur Tengah
Bangsa Yunani lama telah sejak lama menanamkan kebudayaannya hingga di kawasan Timur Tengah. Ide filsafati dan ilmu eksakta daerah Timur Tengah terutama didapat dari bangsa Yunani lama. Perguruan tinggi sebagai pusat berbagai ilmu pengetahuan yang berasal dari Yunani. Dalam perkembangan sejarahnya, puncak perkembangan ilmu pengetahuan Yunani di kawasan Timur Tengah yaitu pada zaman dinasti Abasiyah. Pada masa kepemimpinan Makmun (809-833) perkembangan itu mencapai puncaknya. Diistananya terkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain yang mempelajari berbagai disiplin ilmu dan diberi fasilitas yang baik.
Dikenal ada tiga penerjemah handal pada saat itu. Salah satunya adalah Hunain yang melakukan banyak hal dengan mendata naskah-naskah yang diterjemahkan maupun yang belum diterjemahkan, dan tempat penyimpanannya secara lengkap. Ia juga melakukan kritik teks yang tajam dengan jangkauan naskah sebanyak mungkin. Berkatnya dapat diketahui metode filologi yang digunakan pada saat itu. Kegiatan filologi juga diterapkan pada naskah-naskah yang dihasilkan penulis dari daerah itu.
Timur Tengah dikenal memiliki dokumen lama berisi nilai-nilai agung. Sebelum kedatangan Islam, Timur Tengah telah memiliki karya sastra yang mengagumkan. Setelah kedatangan Islam pun karya sastra mistik Islam berkembang maju. Kedatangan bangsa Barat di kawasan ini menyebabkan karya sastra mereka dikenal dunia Barat. Meluasnya kekuasaan dinasti Umayah ke Spanyol dan Andalusia membawa ilmu pengetahuan Yunani yang telah diserap bangsa Arab kembali ke Eropa dengan baju Islam. Hingga Bahasa Arab dipelajari sebagai alat untuk mempelajari naskah-naskah yang ditulis dalam bahasa tersebut. Terdapat pusat studi ketimuran di berbagai tempat di Eropa yang menghasilkan ahli- ahli dalam mengkaji naskah-naskah Timur Tengah.

G.Filologi di Kawasan Asia India
Sejak beberapa abad sebelum Masehi, bangsa Asia telah memiliki peradaban yang tinggi. Sejak mengenal huruf, sebagian besar kebudayaan mereka ditulis dalam bentuk naskah yang memberibanyak informasi mengenai kehidupan mereka di masa lampau. Di antara bangsa Asia yang dipandang memiliki dokumen masa lampau adalah India. Penelitian terhadap India menunjukkan adanya kontak secara langsung dengan Yunani pada zaman Raja Iskandar Zulkarnain yang melakukan perjalanan sampai India pada abad ke-3. Terlihat adanya perpaduan dengan kebudayaan Yunani pada bentuk patung dan nilai-nilai ilmunya. Sejak abad ke-1 mulai terjadi kontak langsung bangsa India dengan Cina.
Sekelompok pendeta Buddha mengadakan perjalanan dakwah ke Cina, dan sesudah itu musafir Cina berziarah ke tempat-tempat suci agama Buddha di India. Dalam perjalanan itu, mereka sempat menerjemahkan naskah-naskah India ke dalam bahasa Cina. Bahkan ada ringkasan delapan bab ilmu kedokteran India dalam bahasa Cina. Kontak antara bangsa India dengan Timur Tengah mungkin terjadi sejak awal sebelum bertemu dengan bangsa lain. Kemungkinan ini sangat kuat mengingat letak geografis kedua kebudayaan besar ini berdekatan tanpa terbatas kondisi alam tertentu. Sayangnya belum didapati keterangan yang memadai dari sedikit dokumen yang menunjukkan kontak antara keduanya. Hanya terdapat terjemahan naskah India ke dalam bahasa Persi dan catatan musafir Arab-Persi mengenai beberapa aspek kebudayaan India dalam kunjungannya ke tempat tersebut. Naskah India yang dipandang paling tua berupa kesusastraan Weda, ialah kitab suci agama Hindu yang disusun mungkin pada abad ke-6 s.M. Setelah periode Weda disusunlah naskah- naskah kitab suci lain. Selain naskah dengan nilai agama dan filsafat, ada juga naskah lama India yang berisi wiracarita misalnya Mahabarata dan Ramayana serta karya yang berisi ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, tata bahasa, hukum, dan politik. Telaah Filologi terhadap naskah-naskah India baru dilakukan setelah adanya kontak dengan bangsa Barat, yaitu setelah ditemukannya jalan laut ke India. Proses mengenal kubudayaan India bertahap, mulai dari bahasa daerah, bahasa Sansekerta, baru kemudian ditemukan kitab Weda. Sejak itu lah kegiatan filologi terhadap naskah India semakin berkembang dan membuahkan hasil yang sangat berarti seperti berbagai kamus dan tata bahasa Sansekerta.
H. Filologi di Kawasan Nusantara
Nusantara adalah kawasan yang termasuk Asia Tenggara. Seperti kawasan Asia pada umumnya, Nusantara telah memiliki peradaban tinggi dan diwariskan pada generasi selanjutnya melalui berbagai media, salah satunya tulisan berupa naskah. Kawasan Nusantara terbagi dalam berbagai etnis dengan ciri khas masing-masing tanpa meninggalkan sifat khas kebudayaan Nusantara. Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah Nusantara hadir setelah ketangan bangsa Barat. Yang pertama menyadari nilai berharga naskah Nusantara adalah pedagang yang ingin mendapat untung dari penjualan naskah tersebut. Datangnya bangsa Barat dan ditulisnya buku tentang kebudayaan Nusantara oleh Frederik de Houtman menimbulkan minat besar bangsa Barat pada Nusantara.
Dan walaupun terdapat beragam suku dengan bahasa yang berbeda-beda namun untuk mendekati bangsa ini langkah pertama yang diperlukan adalahkemampuan bahasa Melayu. Karena kemampuan berbahasa Melayu akan membuka komunikasi dengan pribumi dan bangsa lain yang juga mengunjungi daerah ini. Selanjutnya pengamatan terhadap bahasa melalui pembacaan naskah dilanjutkan oleh para penginjil yang dikirim dalam jumlah besar oleh VOC. Bahasa Nusantara dipelajari untuk kepentingan tugas penginjil. Hasilnya adalah penelitian dan catatan rapi mengenai kebudayaan bahkan hingga suku yang belum mengenal tulisan.
Karena keterbatasan tenaga, awalnya kegiatan filologi hanya sampai pada tahap menyunting. Yaitu menyajikan naskah pada bentuk aslinya ditambahkan keterangan pendahuluan. Pada tahapan selanjutnya, naskah disunting dalam bentuk transliterasi dalam huruf latin. Perkembangan selanjutnya adalah suntungan naskah disertai terjemahannya dalam bahasa asing. Pada abad ke- 20 muncul suntingan yang lebih mantap dengan kritik teks disertai terjemahan dalam bahasa Belanda, Inggris, atau Jerman. Juga muncul terbitan ulang dari naskah yang sudah pernah disunting dengan maksud untuk menyempurnakan. Pada saat itu juga banyak terbit naskah- naskah keagamaan baik Melayu maupun Jawa, sehingga dapat dikaji oleh ahli teologi serta selanjutnya menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut. Selanjutnya banyak diterbitkan suntingan-suntingan naskah dengan pembahasan isi ditinjau dari berbagai disiplin.
Pada periode mutakhir mulai dirintis telaah naskah-naskah Nusantara dengan analisis berdasarkan ilmu sastra barat. Banyak terdapat analisis struktural, fungsi, dan amanat pada naskah-naskah tersebut. Besarnya minat dan kesempatan pada masa-masa selanjutnya mendorong terbitnya kamus bahasa-bahasa Nusantara. Kajian terhadap naskahnya juga membuka kebudayaan Nusantara dan mengangkat nilai-nilai luhur yang tersimpan di dalamnya. Sedangkan dari Indonesia sendiri, tokoh pribumi yang diakui sebagai ahli filologi adalah Husein Djayadiningrat dengan penelitian mengenai sejarah Banten.
Sedangkan setelah perang dunia kedua hanya terdapat sedikit ahli filologi dengan sedikit karya yang dihasilkan. Selanjutnya setelah perginya nama-nama besar R.M.Ng. Poerbatjaraka dan Prof. R. Prijana ahli filologi sangat sulit ditemukan. Usaha mencari karya filologi dari bangsa sendiri bisa dibilang sia-sia. Belum dapat ditemukan sumbangan yang berarti dalam bidang filologi dari dua universitas tertua di Indonesia, yaitu Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada. Sehingga sumbangan filologi dalam perkembangan kebudayaan nasional pun hampir tak ada. Nusantara seharusnya bersyukur atas peninggalan tertulis dari generasi sebelumnya.

Untuk itu diperlukan kajian filologi yang memadai sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kebudayaan dan sejarah kehidupan sebelumnya. Sebenarnya kajian filologi akan sangat berguna juga karena dapat digunakan dalam bidang ilmu lain. Sayangnya kajian filologi saat ini belum terlihat hasil yang berarti. Bila saja ilmu filologi dilengkapi dengan ilmu sosial lainnya seperti arkeologi maupun antropologi, tentu akan didapati hasil yang lebih baik.

PERKEMBANGAN TEORI SEJARAH

I. Teori Dalam Sejarah
            Ilmu sejarah menyelidiki arti, tujuan sejarah, gerak sejarah, isi, bentuk, makna, tafsiran sejarah, dsb. Masalah tersebut dapat dikatakan sejarah serba teori, karena ilmu sejarah menyelidiki tentang dasar-dasar pengertian sejarah. Secara singkat dapat dirumuskan bahwa sejarah serba teori meliputi bidang-bidang teori seperti:
a. teori tentang sumber-sumber sejarah
b. teori tentang cara penelitian sejarah
c. teori tentang rekonstruksi fakta-fakta
d. teori tentang cara dan penafsiran rekonstruksi fakta
e. teori tentang penyusunan pengertian
f. teori tentang metode-metode ilmiah yang digunakan dalam ilmu sejarah, misalnya:  penelitian, ilmu sejarah murni, penyusunan pengertian, dsb.
g. pemikiran tentang sejarah serba obyek; arti, gerak, tujuan dan makna sejarah
h. penempatan manusia dalam sejarah dan penentuan sejarah sebagai sifat azasi
   manusia
i. teori tentang penulisan sejarah atau sejarah serba subyek
j. teori tentang sejarah penulisan sejarah (perkembangan historiografi)
k. teori tentang kualifikasi sejarah sebagai ilmu, sebagai falsafah atau perkembangan ilmu sejarah/falsafah sejarah
            Pemecahan masalah tersebut memang penting untuk seorang sejarawan. Bagi kita yang penting adalah masalah tempat manusia dalam sejarah, yaitu tentang kebebasan manusia atau peranan manusia dalam sejarah. Dapatkah manusia menentukan perjalanan sejarah?, atau manusia itu seperti wayang yang hanya digerakkan saja oleh sejarah. Masalah lain yang erat huungannya dengan masalah ini ialah tentang peranan tokoh-tokoh besar, seperti Iskandar Zulkarnain, Socrates, Julius Caesar, Gajah Mada, Lao Tse, Napoleon Bonaparte, Lenin, Mahatma Gandhi, Frnaklin Delano Roosevelt, dsb.
            Masalah yang berkaitan dengan filsafat sejarah tersebut tidak dapat dipecahkan secara absolut, artinya tidak diberi satu jawaban yang dapat diterima dan dapat memuaskan semua orang. Jawabannya bersifat relatif atau tidak absolut, di satu sisi benar, di sisi lain mungkin salah. Untuk memudahkan pemecahan masalah tersebut, ditegaskan sebagai berikut:
1. siapakah yang menentukan gerak sejarah?
2. bagaimanakah sifat gerak sejarah itu?
3. apakah peranan manusia dalam sejarah atau apakah arti sejarah bagi manusia?
            Apabila masalah tersebut tidak dapat dipecahkan secara memuaskan, setidak-tidaknya akan terdapat suatu rangkuman tentang makna sejarah. Menganalisis sejarah (kejadian sejarah) berarti mencari hakekat dari kejadian-kejadian tersebut. Hasil analisis tersebut adalah penyusunan atau penceritaan kembali suatu cerita sejarah . Dalam analisis tersebut terdapat juga adanya gerak sejarah, hukum sejarah seperti halnya menganalisis suatu benda dalam ilmu pengetahuan alam. Analisis sejarah yang obyektif bila analisis itu didasarkan pada sumber-sumber yang ditemukan, peranan pikiran manusia yang menganalisis (subyek) hanya terbatas kepada kemampuan mencari adanya saling hubungan antara cerita yang terdapat pada sumber-sumber sejara tersebut (Sutrasno, 1975: 54)

II. Siapakah Yang menentukan Gerak Sejarah
            Cerita sejarah melukiskan segala sesuatu dengan lugas, yaitu tidak menyebut sebab-sebab yang pasti, hanya rangkaian peristiwa yang saling berhubungan dengan menunjukkan keterkaitannya, seperti contoh berikut ini:
Nio Joe Lan, 1952: 155-160 dalam bukunya Tiongkok Sepandjang Abad menyatakan  suku bangsa Tartar Manchu telah menaklukkan Tiongkok dengan cara sangat mudah dan mengagumkan, tetapi ini tak merupakan suatu kemalangan besar, seperti halnya jika dilihat sepintas lalu saja. Lima puluh tahun sebelum waktu itu, suku bangsa Manchu adalah segerombolan yang kecil dan tak penting, dan diam di sebuah lembah subur di Manchuria. Ayah dan nenek laki-laki salah seorang pemimpinnya telah dibunuh secara khianat oleh bangsa Tionghoa, maka bersumpahlah pemimpin tiu untuk membalas dendam dan ia menepati sumpahnya.
Seperti telah diketahui bangsa Manchu dapat menguasai Tiongkok selama 248 tahun (1644-1912), yang perlu dipermasalahkan di sini adalah:
1.      apakah sebabnya bangsa Manchu menguasai Tiongkok?
2.      apa sebab mereka memiliki kebudayaan Tionghoa sebelum menyerbu ke Tiongkok?
3.      mengapa mereka tetap berbangsa Manchu meskipun kebudayaannya Tionghoa?
4.      mengapa mereka tidak tetap berdiam di lembah yang subur itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sukar untuk dijawab dengan tepat, akan tetapi dapat dicari sebab-sebab yang sesuai, sebab-akibat dapat diterangkan, tetapi dapat pula dipersoalkan:
1.      mengapa bangsa Manchulah yang menguasai Tiongkok, mengapa bukan bangsa-bangsa nomaden lain di sebelah utara Tiongkok?
2.      siapakah yang menggerakkan bangsa Manchu ke Tiongkok?
3.      siapakah yang menggerakkan hati orang Tionghoa untuk memanggil bangsa Manchu?
Masalah di atas dapat dirangkum menjadi satu masalah, yaitu gerak sejarah seperti dilaksanakan bangsa Manchu dan Tiongkok disebabkan oleh siapakah? Manusia sendiri ataukah kekuatan-kekuatan di luar manusia? Apakah pemimpin-pemimpin manchu bermusyawarah untuk memiliki kebudayaan Tionghoa dengan maksud tertentu? Apakah pemimpin-pemimpin Tiongkok sudah bulat tekadnya untuk memasukkan Manchu ke negerinya setelah memperhitungkan segala sesuatu? Ataukah segala sesuatu itu berlangsung dengan serba kebetulan saja? Mungkinkah bahwa memang itulah nasib bangsa-bangsa? Dewa-dewakah yang merencanakan? Tuhankah yang mengatur segala-galanya?
 Menurut Sanusi Pane (1955: 7) sejarah ialah perwujudan kehendak Tuhan bagi manusia dalam dunia. Mempelajari sejarah berarti berdaya upaya dengan semangat terbatas mengetahui kehendak Tuhan itu, upaya merasa, dengan terbatas, kehidupan mutlak, supaya sanggup dengan terbatas, hidup dan bekerja sebagai hamba Tuhan yang lebih insyaf. Pendapat Sanusi  Pane didasarkan atas kepercayaan terhadap Tuhan. Mempelajari sejarah adalah berusaha mengetahui kehendak Tuhan.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Tan Malaka (1944: 5) bahwa setelah ilmu dan penelitian menjadi sempurna, setelah manusia mulai meninggalkan dogma agama, setelah manusia mencaji cerdas dan dapat memikirkan pergaulan hidup, pertentangan kelas dijadikan sebagai pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk keadilan dan politik, manusia tidak membutuhkan atau mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama, tetapi langsung menuju sebab yang nyata yang merusakkan dan memperbaiki penghidupannya.
Menurut Tan Malaka, gerak sejarah berpangkal kepada sebab nyata yang merusakkan dan memperbaiki penghidupannya, yaitu ekonomi atau kekuatan-kekuatan produksi. Dua pendapat di atas menunjukkan bahwa masalah gerak sejarah tidak dapat dijawab dengan satu jawaban saja, tetapi dapat lebih dari satu jawaban .Untuk lebih jelasnya akan diuraikan di bawah ini.

III. Pengertian-pengertian Dasar Gerak Sejarah
            Untuk memudahkan masalah gerak sejarah, masalah tersebut harus dipandang khusus mengenai manusia. Bagaimanakah manusia memandang dirinya sendiri? Sejarah adalah sejarah manusia, peran sejarah hanya manusia saja, penulis sejarah manusia juga, peminat sejarah juga manusia, maka manusialah yang harus dipandang sebagai inti permasalah tersebut. Oleh kerena itu, dapatlah dimengerti bahwa munculnya masalah itu dipandang sebagai akibat pendapat manusia tentang dirinya, yaitu:
a. manusia bebas menentukan nasibnya sendiri, dengan istilah internasional otonom
b. manusia tidak bebas menentukan nasibnya, nasib manusia ditentukan kekuatan di luar kekuatan dirinya, manusia disebut heteronom.
Faham bahwa manusia itu otonom dalam istilah filsafat disebut indeterminism dan faham heteronom disebut determinism. Pada umumnya manusia lebih condong menerima kekuatan di luar pribadinya daripadaa ia percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh dirinya sendiri. Masalahnya berkisar pada pertanyaan, siapakah yang menentukan nasibnya? Penentu nasib manusia adalah:
a. alam sekitar beserta isinya
b. kekuatan x (tidak dikenal)
c. Tuhan

A. Gerak Sejarah Menurut Hukum Fatum
            Alam fikiran Yunani menjadi dasar alam fikiran Barat. Salah satu sendi penting adalah anggapan tentang manusia dan alam. Pada dasarnya alam raya sama dengan alam kecil, yaitu manusia, macro cosmos sama dengaan micro cosmos. Cosmos menunjukkan bahwa alam  itu teratur dan di alam itu hukum alam berkuasa. Cosmos bukan chaos atau kekacauan! Hukum apakah yang berlaku dalam macro dan micro cosmos? Alam raya dan alam manusia dikuasai oleh nasib (qadar), yaitu suatu kekuatan gaib yang menguasai macro cosmos dan micro cosmos. Perjalanan alam semesta ditentukan oleh nasib; perjalanan matahari, bulan, bintang, manusia,dsb tidak dapat menyimpang dari jalan yang sudah ditentukan oleh nasib. Hukum alam yang menjadi dasar segala hukum cosmos ialah hukum lingkaran atau hukum siklus. Setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi lagi, terulang lagi. 

Arti hukum siklus iaalah, bahwa setiap kejadian atau peristiwa tertentu akan terulang (sikuls A, B dan C). Seperti matahari tiap pagi terbit, demikian pula setiap peristiwa akan terulang kembali. Oleh karena itu terdapat dalil bahwa di dunia tidak terdapat sesuatu (peristiwa) yang baru, segala sesuatu berulang menurut hukum siklus.
            Hukum siklus di Indonesia disebut Cakra Manggilingan, yaitu cakram berputar. Arti Cakra manggilingan ialah bahwa manusia tidak dapat melepaskan diri dari cakram itu, bahwa segala kejadian/peristiwa berlangsung dengan pasti (Sutrasno,60-61). Cakram adalah lambang nasib (qadar) yang berputarterus serba abadintanpa henti putusnya. Manusia terikat dengan cakram itu, hidup bergerak naik turun seirama dengan gerak irama cakram di jagat raya, sesuai dengan gerak cakram jagat kecil. Nasib (qadar) adalah kekuatan tunggal yang menentukan gerak sejarah, manusia hanya menjalani dan menjalankan qadarnya.
            Zaman lampau telah terjadi menurut kodrat alam, terlaksana menurut  qadar. Zaman yang akan datang akan terjadi seperti telah dikodratkan manusia tidak akan dapat mengubah qadar itu. Qadar, nasib atau fatum bagi alam fikiran Yunani merupakan kekuatan tunggal. Oleh karena itu kejadian/peristiwa sejarah dari masa itu melukiskan kejadian/peristiwa yang tergantung pada qadar. Sifat cerita sejarah ialah realistis, menurut kenyataan.
           
B. Faham Santo Agustinus
            Faham fatum Yunani kemudian menjelma dalam agama Nasrani sebagai faham ketuhanan dengan sifat-sifat yang sama:
a. Kekuatan tunggal fatum menjadi Tuhan
b. serba keharusan, menurut rencana alam, menurut ketentuan faham menjadi
    kehendak Tuhan
c. Sejarah sebagai wujud qadar menjadi sejarah sebagai wujud kehendak Tuhan.
            Kesimpulan dari penjelmaan hukum cakra manggilingan, ialah bahwa manusia tidak bebas menentukan nasibnya sendiri. Ia menerima nasib dari Tuhan, apa yang diterima sebagai kehendak Tuhan. Tuhan sudah menentukan perjalanan hidup yang sudah ditentukan Tuhan dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tuhan sudah menentukan perjalanan hidup manusia dan alam, manusia tidak dapat mengubah garis hidup yang sudah ditentukan. Bagi alam fikiran Yunani manusia menerima segala sesuatu dengan amor fati (gembira), bagi alam kodrat ilahi pemberian Tuhan diterima dengan fiat voluntas tua (kehendak Tuhan terlaksanalah).
            Santo Agustinus menghimpun suatu teori sejarah berdasarkan fiat voluntas tua itu. Gerak sejarah dunia diibaratkan riwayat hidup manusia, babakan waktu disusun menurut tingkatan-tingkatan hidup manusia:
No
Santo Agustinus
Artinya
Zaman
1
intifia
Bayi
Adam sampai Nuh
2
pueritia
Kanak-kanak
Sem, Jafet
3
adulescentia
Pemuda
Ibrahim sampai Daud
4
inventus
Kejantanan
Daud
5
gravitas
Dewasa, dewasa bijaksana
Babilonia
6
kiamat
Tua
Pemilihan antara baik-jahat
            Tujuan gerak sejarah ialah terwujudnya Kehendak Tuhan, yaitu Civitas Dei atau Kerajaan Tuhan. Bila Civitas Dei itu akan menjadi wujud belum diketahui, yaitu sebelum dan sesudah kiamat, tetapi nyatalah bahwa Tuhan akan mengadakan pemilihan, barang siapa taat dan menerima kehendak Tuhan di terima di sorga, barang siapa menentang kehendak Tuhan akan menjadi penduduk neraka atau jahanam.
            Masa sejarah adalah masa percobaan, masa ujian bagi manusia. Kehendak tuhan harus diterima dengan rela dan ikhlas, manusia tidak dapat melepaskan diri dari dari kodrat ilahi. Keharusan kodrat ilahi menurut faham ini ditambah dengan ancaman di akhirat, masuk civitas diaboli (kerajaan iblis) atau neraka.
            Zaman lampau sebagai perwujudan kehendak Tuhan adalah cermin atau hikmah untuk mengetahui kodrat ilahi. Zaman yang akan datang adalah masa medan perjuangan untuk mendapat tempat di Civitas Dei. Maka peri kehidupan manusia ditujukan kepada Civitas Dei, kepada akhirat, kecemasan dan ketakutan meliputi seluruh alam fikiran itu. Apakah nasib yang akan diterima kelak? Fiat Voluntas tua, kehendak Tuhan terlaksanalah! Manusia menyerah kepada kehendak Tuhan, ia menerima segala sesuatu, menyerahkan nasib kepada gereja.
            Demikianlah pandangan sejarah Eropa di masa abad pertengahan (midlle ages), manusia hanya menanti-nantikan kedatangan Civitas Dei. Gerak sejarah bermata air kodrat ilahi dan bermuara pada Civitas Dei.

C. Pendapat Ibnu Kholdum Tentang Sejarah
            Ibnu Kholdun (1332-1406) adalah seorang sarjana Arab yang ternama, ialah yang dapat dipandang sebagai ahli sejarah yang paling pertama. Teorinya didasarkan pada kehendak Tuhan sebagai pangkal gerak sejarah seperti Santo Agustinus, akan tetapi Ibnu Kholdun tidak memusatkan perhatiannya kepada akhirat. Baginya sejarah adalah ilmu berdasarkan kenyataan, tujuan sejarah ialah agar manusia sadar akan perubahan-perubahan masyarakat sebagai usaha penyempurnaan peri kehidupannya. Pendapat Ibnu Kholdun tertuang dalam bukunga An Arab Philosophy of history translated and arranged by Charles Issawi MA, halaman 26-30:
Sejarah ialah kisah masyarakat manusia atau kisah kebudayaan dunia, yaitu kisah perubahan-perubahan yang terjadi karena kodrat masyarakat itu seperti masa kebiadaban, masa saling membantu terus ke masa persatuan golongan, kisah revolusi, pemberontakan yang timbul antara bangsa dengan bangsa dan kisah kerajaan-kerajaan dan negara-negara yang timbul karena revolusi dan pemberontakan itu, kisah kegiatan dan pekerjaan manusia, yaitu pekerjaan untuk mendapatkan nafkah, atau kegiatan dalam macam-macam ilmu dan usaha, dan umumnya kisah dari perubahan yang terjadi karena kodrat manusia. Keadaan dunia dan keadaan negara-negara dan adat lembaganya serta cara-cara penghidupannya (produksi) tidak tinggal tetap dan bersifat kekal (tak berubah) akan tetapi terus berubah sepanjang masa dan berubah dari suatu keadaan ke keadaan yang lain. Demikian halnya manusia, waktu, kota-kota mengalami perubahan, maka iklim, masa, daerah dan negara juga akan mengalami perubahan itulah hukum yang telah ditentukan oleh Allah untuk para mukmin (R. Moh. Ali, 1963: 72).
            Dengan tegas Ibnu Kholdun menunjukkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat karena qadar Tuhan, yang terdapat dalam masyarakat adalah �naluri� untuk berubah. Justru perubahan-perubahan itu berupa revolusi, pemberontakan, pergantian lembaga, dsb, maka masyarakat dan negara akan mengalami kemajuan. Manusia dan semua lembaga-lembaga yang diciptakannya dapat maju karena perubahan. Ibnu Kholdun dengan tegas menyatakan perubahan sebagai dasar kemajuan dan itulah yang kemudian disebut teori evolusi (teori kemajuan) yang dicetuskan oleh Charles Darwin.
            Perbedaan antara teori Santo Agustinus dan Ibnu Kholdun tampak dari akhir tujuan terakhir. Agustinus mengakhiri sejarah dengan dwitunggal sorga-neraka, bagi Ibnu Kholdun sejarah menuju ke arah timbulnya beraneka warna masyarakat, negara dengan manusianya menuju ke arah kesempurnaan hidup. Teori Agustinus menciptakan manusia menyerah, teori Ibnu Kholdun mendidik manusia menjadi pejuang yang tak kenal mundur. Puncak gerak sejarah ialah umat manusia bahagia dengan beraneka ragam masyarakat, negara, kesatuan hidup lainnya yang sempurna.

D. Renaissancedan Akibatnya
            Pada masa renaissance pengaruh gereja mulai berkurang. Perhatian manusia berubah dari dunia-akhirat ke dunia-fana, kepercayaan pada diri pribadi sendiri bertambah dalam diri manusia. Sifat menyerah pada nasib berkurang dan harga diri memperkuat semangat otonom manusia. Semangat otonom itulah yang mendorong manusia ke arah pengertian tentang kehendak Tuhan.
            Kemajuan ilmu pengetahuan seirama dengan kemajuan filsafat dan teknik mengakibatkan timbulnya alam fikiran baru di Eropa. Manusia lambat laun melepaskan diri ari agama serta berani mengembangkan semangat otonom. Sumber gerak sejarah tidak di cari di luar pribadinya, tetapi dicari dari dalam diri sendiri. Hubungan dengan cosmos diputus, ikatan dengan Tuhan ditiadakan, manusia berdiri sendiri (otonom.
            Gerak sejarah berpangkal pada kemajuan (evolusi), yaitu keharusan yang memaksa segala sesuatu untuk maju. Manusia melenyapkan sorga-neraka sebagai tujuan, tujuan fatum yang serba tidak tentu diberi batasan yang jelas. Gerak sejarah menuju ke arah kemajuan yang tidak ada batasnya. Evolusi tak terbatas adalah tujuan manusia. Abad ke-18 dan 19 merupakan masa revolusi jiwa yang luar biasa, yaitu suatu revolusi yang mematahkan kekuatan heteronomi. Hukum siklus yang mengekang daya pencipta lenyap kekuatannya. Lingkaran cakra manggilinganditerobos dan gerak sejarah tidak berputar-putar lagi, tetapi maju menurut garis lurus yang tidak ada akhirnya. 
            Sejarah adalah medan perjuangan manusia dan cerita sejarah adalah epos perjuangan ke arah kemajuan. Dengan ilmu pengetahuan, taknik, filsafat alam sekitarnya diselidiki dengan semangat evolusi. Mitos evolusi menjadi sumber dinamika yang dahsyat dan mengeluarkan manusia dari alam rohaniah.
            Evolusi berarti evolusi jasmaniah, evolusi kebendaan, evolusi duniawi, kefanaan, misalnya kemajuan teknik: kapal api, kereta api, pabirk, dsb. Gerak sejarah tidak menuju ke akhirat, tetapi ke arah kemajuan duniawi, maka dalam dunia yang seolah-olah tidak memerlukan Tuhan lagi itu, timbullah faham-faham baru yang berpedoman pada evolusi tak terbatas, diantaranya faham historical materialismatau economic determinism.
            Faham historical materialism menerangkan bahwa pangkal gerak sejarah ialah ekonomi, gerak sejarah ditentukan oleh cara-cara menghasilkan barang kebutuhan masyarakat (produksi). Cara produksi menentukan perubahan dalam masyarakat, perubahan itu ditimbulkan oleh pertentangan kelas. Gerak sejarah terlaksana dengan pasti menuju ke arah masyarakat yang tidak mengenal pertetangan kelas. Tujuan sejarah ialah menciptakan kebahagiaan untuk setiap manusia, kelas manusia istimewa akan lenyap pada saat amsayarat tanpa kelas dapat diwujudkan.
            Manusia pada dasarnya tidak bebas, tidak otonom dalam arti luas. Semua perubahan terjadi tanpa persetujuan manusia, manusia hanya dapat mempercepat jalan gerak sejarah dan tidak dapat mengubah atau menahan gerak sejarah. Kebebasan manusia sangat terbatas oleh keharusan ekonomi. Gerak sejarah tidak memerlukan Tuhan, tidak memerlukan fatum, tidak memerlukan manusia agar dapat terlaksana. Sejarah berlangsung dengan sendirinya, yaitu karena pertentangan kelas. Gerak sejarah bersifat mekanis, seperti jam tangan yang setelah diputar berjalan dengan sendirinya, manusia menjadi alat dari dinamika ekonomi.
            Demikianlah secara singkat faham historical materialism  (Croce, 2008: 6-13)  yang dicetuskan oleh Karl Marx (1818-1883) dan Frederick Engels (1820-1895). Jelaslah bahwa otonomi yang dibanggakan manusia abad 19 sebetulnya hanya pembebasan dari Tuhan dan penambatan dari hukum ekonomi. Dunia yang tersedia ini tidak untuk difikirkan, tetapi harus diubah menurut kehendak manusia menurut hukum alam. Sejarah menjadi perjuangan manusia untuk menciptakan dunia baru guna kebahagian manusia. Pada abad ke-20 historical materialism diperjuangkan oleh Partai Komunis.

E. Tafsiran Sejarah Menurut Oswald Spengler (1880-1936)
            Karya Oswald Spengler yang berpengaruh adalah Der Untergang des Abendlandes (Decline of  the West) atau Keruntuhan Dunia Barat/Eropa. Spengler meramalkan keruntuhan Eropa. Ramalan itu didasarkan atas keyakinan bahwa gerak sejarah ditentukan oleh hukum alam. Dalil Spengler ialah bahwa kehidupan sebuah kebudayaan  dalam segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam semesta. Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum siklus sebagai wujud dari fatum. Hukum itu tampak pada siklus:
No
Alam
Manusia
Tumbuhan
Hari
Kebudayaan
1
Musim semi
Masa pemuda
Masa pertumbuhan
Pagi
Pertumbuhan
2
Musim panas
Masa dewasa
Masa berkembang
Siang
Perkambangam
3
Musim rontok
Masa puncak
Masa berbuah
Sore
Kejayaan
4
Musim dingin
Masa tua
Masa rontok
Malam
Keruntuhan
            Tiap-tiap masa pasti datang menurut waktunya, itulah keharusn alam yang mesti terjadi. Seperti halnya historical materialism, paham Spengler tentang kebudayaan pasti runtuh apabila sudah melewati puncak kebesarannya. Oleh sebab itu keruntuhan suatu kebudayaan dapat diramalkan terlebih dahulu menurut perhitungan. Suatu kebudayaan mendekati keruntuhan apabila kultur sudah menjadi Civilization(kebudayaan yang sudah tidak dapat tumbuh lagi). Apabila kultur sudah kehilangan jiwanya, maka daya cipta dan gerak sejarah akan membeku.
            Gerak sejarah tidak bertujuan sesuatu kecuali melahirkan, membesarkan, mengembangkan, meruntuhkan kebudayaan. Spengler menyelidikinkebudayaan Barat dan setelah membandingkan kebudayaan Barat dengan sejarah kebudayaan-kebudayaan yang sudah tenggelam, ia berkesimpilan:
a. kebudayaan Barat sampai pada masa tua (musim dingin), yaitu civilization
b. sesudah civilization itu kebudayaan Barat pasti akan runtuh
c. manusia Barat harus dengan bersikap berani menghadapi keruntuhan itu
            Mempelajari sejarah tujuannya ialah untuk mengetahui suatu kebudayaan didiagnose seperti seorang dokter menentukan penyakit si penderita. Nasib kebudayaan dapat diramalkan, sehingga untuk seterusnya kebudayaan itu dapat menentukan sikap hidupnya.

F. Tafsiran Arnold  J. Toynbee
            Arnold J. Toynbee mengarang buku A Study of History tahun 1933. Teori Toynbee didasarkan atas penelitian terhadap 21 kebudayaan yang sempurna dan 9 kebudayaan yang kurang sempurna. 21 kebudayaan yang sempurna, antara lain: Yunani, Romawi, Maya, Hindu, Barat/Eropa, dsb, yang kurang sempurna, antara lain: Eskimo, Sparta, Polinesia, Turki. Kesimpulan Toynbee ialah bahwa gerak sejarah tidak terdapat hokum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul tenggelamnya kebudayaan-keudayaan dengan pasti. Yang disebut kebudayaan (civilization) oleh Toynbee ialah wujud kehidupan suatu golongan seluruhnya. Menurut Toynbee gerak sejarah berjalan menurut tingkatan-tingkatan seperti berikut (http://nobsnews.blogspot.com/1993 /10/introduction.htm):
a. genesis of civilizations, yaitu lahirnya kebudayaan
b. growth of civilizations, yaitu perkembangan kebudayaan
c. decline of civilizations, yaitu keruntuhan kebudayaan:
    1. breakdown of civilizations, yaitu kemerosotan kebudayaan
    2. disintegration civilization, yaitu kehancuran kebudayaan
    3. dissolution of civilization, yaitu hilang dan lenyapnya kebudayaan
            Suatu kebudayaan terjadi, karena challenge and response atau tantangan dan jawaban antara manusia dengan alam sekitarnya). Dalam alam yang baik manusia berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan seperti di Eropa, India, Tiongkok. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas tidak dapat timbul juga suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi), maka apabila tantangan alam itu baik timbullah suatu kebudayaan.
            Pertumbuhan dan perkembangan suatu kebudayaan digerakkan oleh sebagian kecil dari pemilik kebudayaan. Jumlah kecil itu menciptakan kebudayaan dan jumlah yang banyak (mayoritas) meniru keudayaan tersebut. Tanpa minoritas yang kuat dan dapat mencipta, suatu kebudayaan tidak dapat berkembang. Apabila minoritas lemah dan kehilangan daya mencipta, maka tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi. Minoritas menyerah, mundur, maka pertumbuhan kebudayaan tidak ada lagi. Apabila kebudayaan sudah memuncak, maka keruntuhan (decline) mulai tampak. Keruntuhan itu terjadi dalam 3 masa, yaitu:
a. kemerosotan kebudayaan, terjadi karena minoritas kehilangan daya mencipta serta kehilangan kewibawaannya, maka mayoritas tidak lagi bersedia mengikuti minoritas. Peraturan dalam kebudayaan (antara minoritas dan mayoritas pecah dan tentu tunas-tunas hidupnya suatu kebudayaan akan lenyap.
b. kehancuran kebudayaan mulai tampak setelah tunas-tunas kehidupan itu mati dan pertumbuhan terhenti. Setelah pertumbuhan terhenti, maka seolah-olah daya hidup itu membeku dan terdapatlah suatu kebudayaan itu tanpa jiwa lagi. Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification, pembatuan atau kebudayaan itu sudah menjadi batu, mati dan mejadi fosil.
c. lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah membatu itu hancur lebur dan lenyap.
            Untuk mwnhindarkan keruntuhan suatu kebudayaan yang mungkina dilakukan adalah mengganti norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan. Dengan pergantian itu, maka tujuan gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan atau kerajaan Allah menurut paham Protestan. Dengan demikian garis besar teori Toynbee mirip dengan Santo Agustinus, yaitu akhir gerak sejarah adalah Civitas Dei atau Kerajaan Tuhan.

G. Teori Pitirim Sorokin
            Pitirim Sorokin adalah ilmuwan Rusia yang mengungsi ke Amerika Serikat sejak Revolusi Komunis 1917. Ia adalah seorang Sosiolog, karangannya yang terkenal adalah: Social Cultural and Dynamics (1941),  The Crisis of Our Age (1941), dan Society, Culture and Personality (1947). Sorokin mengemukakan teori yang berlainan, ia menerima teori siklus seperti hukum fatum ala Spengler, dan menolak teori Karl Marx. Sorokin juga menolak teori Agustinus dan Toynbee yang menuju ke arah Kerajaan Tuhan.
            Ia menilai gerak sejarah dengan gaya, irama dan corak ragam yang kaya raya dipermudah, dipersingkat dan disederhanakan sehingga menjadi teori siklus. Sorokin menyatakan bahwa gerak sejarah menunjukkan fluctuation of age to age, yaitu naik turun, pasang surut, timbul tenggelam. Ia menyatakan adanya cultural universal dan di dalam alam kebudayaan itu terdapat masyarakat dan aliran kebudayaan. Di alam yang luas ini terdapat 3 tipe yang tertentu, yaitu:
a.       ideational, yaitu kerohanian, ketuhanan, keagamaan, kepercayaan
b.      sensate, yaitu serba jasmaniah, mengenai keduniawian, berpusat pada panca indera
c.       perpaduan antara ideational-sensate, yaitu idealistic, yaitu suatu kompromis.
Tiga jenis kebudayaan adalah suatu cara untuk menghargai atau menentukan nilai suatu kebudayaan. Menurut Sorokin tidak terdapat hari akhir seperti pendapat Agustinus, tidak ada pula kehancuran seperti pendapat Spengler. Ia hanya melukiskan perubahan-perubahan dalam tubuh kebudayaan yang menentukan sifatnya untuk sementara waktu.
Apabila sifat ideational dipandang lebih tinggi dari sensate dan sifat idealistic ditempatkan diantaranya, maka terdapat gambaran naik-turun, timbul-tenggelam dan pasang-suruta dalam gerak sejarah tidak menunjukkan irama dan gaya yang tetap dan tertentu. Sorokin dalam menafsirkan gerak sejarah tidak mencari pangkal gerak sejarah atau muara gerak sejarah, ia hanya melukiskan prosesnya atau jalannya gerak sejarah.

IV. Sifat Gerak Sejarah
            Dari teori-teori yang memberikan arah dan tujuan gerak sejarah dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Tanpa arah tujuan, seperti terdapat dalam alam fikiran Yunani berdasarkan hukum fatum, teori ini kemudian diperluas dan diperdalam oleh Oswald Spengler. Gerak sejarah berputar-putar, berputar-putar dan tidak terdapat sesuatu yang baru. Setiap kejadian, peristiwa, fakta pasti akan terjadi lagi seperti yang sudah-sudah.
b. Pelaksanaan kehendak Tuhan, gerak sejarah ditentukan oleh kehendak Tuhan dan menuju ke arah kesempurnaan manusia menuju kehendak Tuhan. Manusia hanya menerima ketentuan itu dan tidak dapat mengubah nasibnya. Akhir gerak sejarah adalah Kerajaan Tuhan (Civitas Dei) bagi yang dapat diterima Tuhan dan kerajaan setan (Civitas Diaboli) bagi yang ditolak oleh Tuhan.
c. Ada juga yang berpendapat bahwa ikhtiar, usaha dan perjuangan manusia dapat menghasilkan perubahan nasib yang sudah ditentukan Tuhan, maka gerak sejarah merupakan perimbangan antara kehendak Tuhan dengan usaha manusia. Aliran ini merupakan perpaduan otonomi dan heteronomi.
d. Evolusi dengan kemajuan yang tidak terbatas, gerak sejarah membawa manusia setingkat demi setingkat terus ke arah kemajuan. Dengan senang hati manusia melaksanakan gerak sejarah dengan penuh harapan akan mengalami kemajuan yang tidak terhingga. Alam semesta harus dan dapat dikuasai oleh manusia. Semakin meningkat, semakin luas dan dalam pengetahuan manusia dan makin berkuasalah ia.Aliran inilah yang sangat berpengaruh terhadap gerak sejarah di dunia Barat, sehingga bangsa-bangsa di Eropa dan Amerika menglami kemajuan yang pesat.
e. Disamping faham evolusi terdapat pula faham historical materialism yang menentukan masyarakat tanpa kelas adalah tujuan sejarah. Masyarakat tak berkelas itu adalah tujuan gerak sejarah setelah melalui masa kapitalis.
f. Reaksi terhadap faham evolusi menghasilkan beberapa aliran baru, yaitu:
1) aliran menuju ketuhanan seperti faham Toynbee, bahwa gerak sejarah itu akan sampai pada masa bahagia apabila manusia menerima Tuhan serta kehendak Tuhan sebagai dasar perjuangannya.
2) aliran irama gerak sejarah menurut Sorokin yang menyatakan bahwa gerak sejarah tidak bertujuan apa-apa dan bahwa gerak itu hanya menunjukkan datang-lenyapnya atau berganti-gantinya corak; ideational, sensate dan idealistic
3) aliran kemanusiaan, yaitu suatu aliran yang sangat luas dan berpusatkan pendapat mutlak bahwa manusialah yang terpenting di dunia ini. Gerak sejarah adalah perjuangan manusia untuk mencapai kemajuan yang setinggi mungkin.
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan secara ringkas bahwa:
a. dasar mutlak gerak sejarah adalah manusia
b. isi gerak sejarah adalah pengalaman kehidupan manusia
c. tujuannya ialah manusia sempurna dalam arti yang luas, yaitu sempurna sebagai manusia fatum, sebagai manusia bertuhan, manusia hitorical materialism dan manusia amr.
d. pokok dasar gerak sejarah adalah masalah kemanusiaan, apakah manusia itu, apakah tujuannya, dimanakah letak batas-batas kemungkinannya?
            Demikianlah sifat gerak sejarah sebagai daya penggerak manusianuntuk menciptakan dunia baru yang bersifat positif dan optimistis. Manusia mampu dan dapat mengubah dunia serta menentukan nasibnya sendiri.

V. Tugas Manusia Dalam Sejarah atau Manusia dan Sejarah
            Manusia tidak dapat dilepaskan dari sejarah. Manusia tanpa sejarah adalah khayal. Manusia dan sejarah adalah dwitunggal, manusia adalah subyek dan obyek sejarah. Sejarah adalah pengalaman manusia dan ingatan tentang pengalaman-pengalaman yang diceritakan. Peran manusia dalam sejarah ialah menciptakan sejarah, karena ia yang membuat pengalaman menjadi sejarah. Ia adalah penutur sejarah, yang membuat cerita sejarah.
            Sejarah memang luas artinya, yaitu pengalaman manusia yang dihimpun sejak zaman purbakala. Manusia tidak dapat dilepaskan dari sejarah dan melepaskan diri dari sejarah. Manusia dibentuk oleh sejarah dan manusia membentuk sejarah. Manusia adalah ciptaan sejarah dan ia mempunyai batas kemungkinan untuk menciptakan sejarah baru.

VI Penutup
            Uraian tentang cerita sejarah pada umumnya hanya memberikan sekedar penjelasan. Penjelasan itu hanya sekadar memberikan pengertian tentang sejarah agar dapat dimengerti bahwa sejarah itu suatu ilmu yang mulia. Masalah manusia adalah masalah sejarah. Setelah memiliki sekadar pengetahuan tentang ilmu sejarah, maka kesadaran manusia tentang sejarah dapat diperjuangkan untuk membangkitkan semangat juang bagi kepentingan bangs dan negara.

Daftar Pustaka
Ali, R. Moh. 1963. Pengantar Ilmu Sedjarah Indonesia. Bhratara. Jakarta
Croce, Benedetto. 1914, Historical Materialism translated by CM Meredith dalam
http://etext.lib.virginia.edu/modeng/modengC.browse.html copyright 2001, by the Rector and Visitors of the University of Virginia, diakses tanggal 18 Nopember 2008
Malaka, Tan: 1944. Madilog. http://www.tanmalaka.estranky.cz/clanky/karya-karya-tan-malaka/gerpolek-_sambungan_ Disakses tanggal: 18 Nopember 2008
Nio Joe Lan. 1952. Tiongkok Sepandjang Abad. Balai Pustaka. Jakarta
Sutrasno. 1975. Sejarah dan Ilmu Pengetahuan. Pradnya Paramita. Jakarta

Toynbee, Arnold Joseph. 1933. A Study of History. http://nobsnews.blogspot.com/1993 /10/introduction.htm diakses tanggal 17 Nopember 2008

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *