Blog untuk Pendidikan

Selasa, 23 Februari 2016

Filosofi Tradisi Budaya Makan Saprahan Pada Masyarakat Sambas

SampanPesisir- Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing, Berdiri Sama Tinggi Duduk Sama Rendah. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk yang memiliki berbagai macam suku dan budaya yang tersebar di tanah air. Kesatuan Bhineka Tunggal Ika dan kemajemukan itulah menjadikan kita Indonesia, negara yang begitu indah. Suku Sambas (Melayu Sambas / Urang Sambas) adalah salah satu komunitas etnis dari ras austronesia atau etnoreligius Muslim yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu), berbahasa Melayu, walaupun secara linguistik termasuk dalam rumpun Dayak Melayik dan dikategorikan sebagai Melayu Tua / Proto Melayu. Suku Sambas (Melayu Sambas / Urang Sambas) menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Mempawah- Kalimantan Barat.

Di Kalimantan Barat terutama di Kabupaten Sambas kaya akan warisan leluhur berupa budaya-budaya yang tidak akan pernah habis untuk dibahas dan sangat menarik untuk di eksplorasi, salah satunya sebuah Tradisi Budaya Makan Saprahan yang penuh filosofi pada masyarakat Sambas.


Tradisi Budaya Makan Saprahan di Kabupaten Sambas hingga sekarang masih bisa ditemui terutama pada acara-acara tertentu, mulai dari acara Sya'ban hingga acara pernikahan. Tradisi ini penuh makna yang menjadi salah satu kebanggaan Urang Sambas yang harus dilestarikan, karena tak sekedar makan bersama, tak sekedar berkumpul, tapi banyak hal yang perlu kita perhatikan dalam tradisi budaya makan saprahan ala masyarakat Sambas.

SEJARAH DAN DEFINISI SAPRAHAN

Sebelum lebih jauh membahas sejarah Tradisi Budaya Makan Saprahan, kita harus tahu definisi budaya. Kata budaya berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu "buddhayah" yang merupakan bentuk jamak dari "buddhi" yang artinya budi atau akal. Jadi kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal.

Kesadaran untuk memelihara, membina, dan mengembangkan Budaya yang mencerminkan nilai luhur dan kekayaan bangsa dalam bukti kepedulian terhadap kelangsungan proses kehidupan berbangsa. Indonesia dengan berbagai suku bangsa yang tersebar diseluruh penjuru tanah air mempunyai keanekaragaman budaya yang perlu mendapat perhatian agar tetap terjaga dan terpelihara baik budaya bangsa maupun budaya lokal.


Tradisi saprahan memang sudah ada sejak lama, akan tetapi orang-orang tidak tahu betul kapan sejarah masuknya tradisi saprahan di Kabupaten Sambas. Menurut Bapak H. Muin Ikram dan Bapak H. Aspan. S, mereka menyebutkan bahwa sejarah masuknya tradisi Saprahan di daerah Sambas di bawa oleh pedagang-pedagang Arab yang singgah di Sambas, karena dahulunya Sambas merupakan tempat yang srategis bagi kapal-kapal yang berlayar untuk singgah dan menawarkan barang-barang. Menurut Bapak H. Aspan. S, kemungkinan besar masuknya budaya Saprahan di Sambas seiring dengan masuknya agama Islam di Indonesia.

Menurut Bapak H. Muin Ikram, kata Saprahan bukanlah berasal dari bahasa Sambas maupun Indonesia akan tetapi kata Saprahan berasal dari Arab. Beliau juga bilang bahwa kata Saprahan mempunyai makna tersendiri, tetapi beliau tidak pasti tahu apa makna sebenarnya yang terkandung dalam kata Saprahan. Dia menyimpulkan bahwa makna Saprahan adalah sopan santun dalam beradab, kebersamaan yang tinggi (gotong-royong).

Tradisi Budaya Makan Saprahan memiliki makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Tradisi ini begitu kental dengan makna filosofinya, penuh akan makna sebuah kebersamaan, keramah-tamahan, berjiwa sosial tinggi dan nilai persaudaraan yang kuat antar masyarakat Sambas yang telah membudaya. Tradisi ini hingga sekarang masih sering ditemui di daerah pinggiran, terutama pada acara perkawinan tradisional.

FILOSOFI TRADISI BUDAYA MAKAN SAPRAHAN

Saprahan merupakan tradisi adat Melayu. Cara makan, menghidang, dan menu ada aturannya. Tidak tertulis, tetapi sudah membudaya. Di Kalimantan Barat, tradisi budaya ini sudah tidak asing terdengar di telinga masyarakat yang berbudaya Melayu, khususnya masyarakat Sambas, Mempawah dan Pontianak.

Padahal Tradisi Budaya Makan Saprahan adalah sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan duduk satu kebersamaan. Maka timbul pertanyaan di benak penulis, Apa filosofi dari makan saprahan itu?

Berat Sama Dipikul, Ringan Sama Dijinjing, Berdiri Sama Tinggi Duduk Sama Rendah. Itulah filosofi yang tepat untuk melambangkan kebersamaan dan semangat gotong royong masyarakat Sambas yang hingga saat ini masih terjaga dengan baik. Hidangan sajian yang sudah terhidang akan disantap bersama-sama kelompok, membentuk seperti lingkaran bola. Sajian yang disantap tidak menggunakan sendok maupun lainnya, tetapi menggunakan tangan (disuap), sedangkan untuk mengambil lauk pauk digunakan sendok

Tradisi Budaya Makan Saprahan tidak bisa terlepas dari semangat gotong royong masyarakat, contohnya pada acara perkawinan karena untuk membuat acara tersebut membutuhkan tenaga yang cukup banyak. Biasanya untuk sebuah acara perkawinan membutuhkan tenaga kerja bisa lebih dari seratus orang. Sangat mustahil kalau yang punya acara menggaji atau memberi upah kepada semua tenaga kerja yang telah membantu, karena biasanya warga satu desa turut serta bahu-membahu membantu segala aktivitas untuk makan saprahan tersebut.

Seandainya total semua tenaga kerja adalah 200 (dua ratus) orang, dan setiap orang di gaji IDR 200k, maka total untuk upah tenaga kerja adalah Rp. 40.000.000,-. Tetapi selagi semangat gotong royong masyarakat masih kental, maka yang punya acara cukup memberi makan para warga yang telah berpartisipasi demi kelancaran acaranya.


Karena untuk membuat acara perkawinan saja butuh satu minggu waktu yang diperlukan untuk segala persiapan, mulai dari membuat tenda untuk memasak, tempat acara serakalan, tempat tanjidor, dan lain sebagainya. Setelah selesai, maka warga kembali bahu-membahu gotong royong kembali untuk menyelesaikan pekerjaan lainnya, mulai dari merobohkan bangunan yang dibangun tadi, mengembalikan piring untuk makan saprahan dan lain sebagainya.


Kesimpulannya adalah untuk pengeluaran membutuhkan biaya tiga kali lipat dari acara perkawinan makan prasmanan seperti yang yang sering kita jumpai di daerah perkotaan. Maka dari itu, tradisi ini memang sangat kental dengan adat dan budaya Melayu yang perlu kita lestarikan bersama sebagai generasi penerus karena makan saprahan dan semangat gotong royong dalam budaya itu memang satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kalau semangat gotong royongnya memudar, maka makan saprahan juga akan dengan sendirinya akan hilang.

KEISTIMEWAAN TRADISI BUDAYA MAKAN SAPRAHAN

Dalam tradisi budaya makan saprahan terkandung nilai-nilai filosofi yakni adanya kebersamaan dan rasa kekeluargaan. Penyajian makanan dengan cara saprahan juga sebagai salah satu pendidikan etika. Sajian yang dihidangkan juga terdiri dari berbagai jenis kuliner khas Melayu.

Keistimewaan yang secara tidak langsung kita dapatkan dalam makan saprahan adalah sebuah kesederhanaan yang tercipta dengan duduk secara bersama-sama tanpa memandang latar belakang duduk di lantai dengan makanan yang sama. Hal ini justru menjalin rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang merupakan modal penting menjaga tetap saling mengenal satu sama lain.

Tradisi ini dalam kehidupan masyarakat Sambas sangat identik dengan agama Islam, terpelihara dan berpedoman pada 6 (enam) rukun Iman, dan 5 (lima) rukun Islam. Makna bersaprah yang disantap oleh 6 (enam) orang setiap saprahannya diartikan dengan rukun Iman, dan lauk-pauknya yang dihidangkan biasanya 5 (lima) piring diartikan rukun Islam. Sebenarnya tidak ada perbedaan menu masakan untuk sajian saprahan antara rakyat biasa dengan pemimpin, semuanya sama saja.

Berangkat dari pembahasan di atas, maka saya simpulkan keistimewaan Tradisi Budaya Makan Saprahan pada masyarakat Sambas, adalah:

1. Kesederhanaan melalui makan besaprah ini terlihat sebuah kesederhaan yang tercipta, yaitu dengan duduk secara bersama-sama dilantai dengan lauk dan sayur yang apa adanya. Setiap orang dengan berbagai latar belakang, kaya atau miskin, muda atau tua, mempunyai jabatan atau tidak, makan makanan yang sama,tidak ada yang diistimewakan.

2. Kebersamaan dan kekeluargaan, makan besaprah menjalin kebersamaan dan kekeluargaan yang merupakan modal penting untuk menjaga kita tetap saling mengenal.

3. Persatuan, Semakin baik kita mengenal sesorang lain maka hubungan emosional kita dengan orang tersebut akan baik dan akan berpengaruh pula kepada rasa persatuan dan kesatuan kita.

4. Solidaritas, dengan terjalinnya dan kesatuan dan persatuan rasa solidaritas akan timbul dengan sendirinya.

5. Sebagai wahana interaksi dalam menyampaikan informasi.

6. Melestarikan Warisan Budaya leluhur.

BENTUK dan JENIS SAPRAHAN

Bentuk Saprahan ada 2 (dua) macam antaranya sebagai berikut:

1. Saprahan Memanjang

Adalah sajian makanan yang disusun, disajikan diatas kain yang memanjang, sepanjang ruangan yang disiapkan. Tamu duduk secara berhadapan ditengah-tengahnya sajian yang telah disediakan. Mengapa disebut Saprahan memanjang, karena bentuknya yang memanjang seperti persegi panjang. Saprahan bentuk memanjang ini sudah tidak ada lagi didaerah Kabupaten Sambas, saprahan ini hanya ada di luar Kabupaten Sambas. Seperti Pontianak dan sekitarnya. Inilah yang membedakan saprahan yang ada di Kabupaten Sambas dengan Kabupaten lainya, karena mempunyai ciri khas.

2. Saprahan Pendek

Adalah membentangkan atau menghamparkan kain saprahan yang ukuranya 1x1 meter saja dan diatasnya hamparan kain tersebut diletakan sajian makanan yang akan disantap para tamu (khusus undangan). Terkadang ada juga yang tidak pakai kain, tetapi diletakkan dirumah-rumah tapi berbentuk lingkaran. Setiap saprahan pendek dihadapi oleh 6 (enam) orang setiap saprahan. Dengan cara membentuk lingkaran seperti bola, saprahan bentuk pendek ini yang masih dilaksanakan oleh masyarakat di Kabupaten Sambas sampai saat ini, baik di kota maupun didesa-desa.


Saprahan pendek dibagi menjadi 3 (tiga) jenis antara lain:

1. Saprahan Bulat

Model saprahan ini, di atas hamparan kain saprah yang ukuranya 1x1 meter saja. Ditengah kain saprahan itu diletakkan pinggan saprahan, tempat nasi dikelilingi oleh lauk-pauk dan diteruskan dengan pinggan nasi. Di ujung sebelah depan diletakkan batil dan gelas tempat mencuci tangan sebelum makan, dan di sebelah belakang diletakkan tempat iar minum.

2. Saprahan Membujur Dengan Alas Saprah

Adalah saprahan beralaskan kain saprahan 1x1 meter, di tengah alas kain diletakkan lauk-pauk dalam piring. Diujung saprahan diletakkan pinggan saprahan dan bergandengan dengan air cuci tangan di dalam batel atau tempat air. Disamping piring lauk.

3. Saprahan Membujur Dengan Alas Baki

Adalah saprahan dengan susunan seperti Pinggan saprah atau tempat nasi diletakkan di atas sekalian bergandengan dengan dengan batel air cuci tangan, diikuti dengan baki besar yang berisi lauk-pauk. Diletakkanlah pinggan ditengah-tengah, dikiri kanan baki diletakkanlah lauk-pauk sebanyak 6 buah dan duujung diletakan baki cawan air minum.

PENYAJIAN SAPRAHAN 

Dalam Tradisi Budaya Makan Saprahan tentunya ada tata cara tertentu dalam menyajikan hidangan. Baik dalam peangkatan sajian maupun cara-cara menyodorkan saprahan, biasa pesurrung (tim penyaji) dianggotakan minimal 5 (lima) orang. Besurrung diartikan sebagai pengangkat sajian kehadapan tamu undangan yang sudah menunggu di atas tikar maupun permadani yang telah disediakan khusus untuk tamu. Penyurrung biasanya bukanlah orang sembarangan yang dipilih, tetapi orang yang sudah bias dalam besurrung, penyurrung penampilannya sangat rapi dengan pakaian Melayu sambas.


Dalam tata cara penyajian makanan (besurrung), dilakukan oleh 5 (lima) orang yang mempunyai tugas masing-masing sebagai berikut:

1. Penyurrung 1

Barisan terdepan bertugas mengatur meletakan sajian diatas hamparan tikar. Penyurrung 1 ini juga membawa alas saprah dan tempat air cuci tangan.

2. Penyurrung 2

Membawa pinggan saprah yang berisi nasi.

3. Penyurrung 3

Membawa baki lauk-pauk.

4.Penyurrung 4

Membawa pinggan/piring nasi.

5. Penurrung 5

Membawa baki becil yang berisi cawan air minum.


Kelima orang tersebut mengambil bawaan masing-masing dan menyusun menurut tugasnya. Mereka mengambil posisi secara berurutan, mulai dari memasuki ruangan, berjalan, duduk dan lain-lain. Sajian saprahan disampaikan secara sambung menyambung. 


Bersama Kita Bisa, Bersama Kita Melestarikan Budaya Kita. Mari menginspirasi banyak orang dengan budaya bangsa kita #NowWeSee #46thMenginspirasi #GBCFebruari.
Sumber Referensi Artikel:


Edi Sedyawati, Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah, ( Ed.1-3; Jakarta PT RajaGravindo Persada,2007),hlm.325.

Murniatmo Gatut dkk, Khazanah Budaya Lokal ( Yogjakarta: Adicita Karya Nusa, 2000). Hal. 85.

http://www.cakrawawasan.com/2013/05/makan-saprahan-sebuah-kebudayaan-khas.html

http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/08/02/n9nufk-melestarikan-tradisi-makan-saprahan

http://www.pontianakkota.go.id/index.php/2015/10/01/makan-saprahan-pererat-rasa-kekeluargaan/?print=pdf

http://pemimpinangah.blogspot.co.id/2014/09/saprahan-adat-budaya-sambas.html



Sumber Photo: Dokumentasi Pribadi

Senin, 22 Februari 2016

OTAR-OTAR: Budaya Lokal Yang Terancam Punah Ditelan Zaman


SampanPesisir - Tuah sakti hamba negeri, esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, tak Melayu hilang di bumi. Itulah lengkapnya sumpah Hang Tuah sang legenda Melayu. Dewasa ini, sumpah tersebut seakan menjadi menu wajib bagi masyarakat Melayu dalam acara berbasis kebudayaan. Dengan mengumandangkan "Tak Kan Hilang Melayu Ditelan Zaman", masyarakat merasa suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) tak akan pernah punah.

Membahas tentang budaya yang dimiliki bangsa Indonesia memang tak akan pernah lepas dari sejarah masa lampau dan kultur dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Indonesia adalah negara multicultural. Kesatuan Bhineka Tunggal Ika dan keberagaman itulah menjadikan kita Indonesia, negara yang begitu indah. Beribu tarian, beribu bahasa, makanan, sampai rumah adat pun bisa kita temui di Indonesia.

Suku Sambas adalah salah satu suku asli Kalimantan yang termasuk dalam rumpun Dayak Melayik atau etnoreligius Muslim yang berbudaya Melayu. Suku Sambas lebih familiar disebut Melayu Sambas (Urang Sambas), penamaan tersebut sering digunakan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan jenisnya, suku Sambas termasuk dalam kategori Melayu Tua (proto melayu) sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Barat. Ini tentunya berbeda dengan suku Melayu Muda (Deutero Melayu) di semenanjung Melaka.

Secara Budaya dan Intelektual, Suku Sambas adalah yang terkemuka di wilayah Kalimantan bagian barat. Budaya Sambas yang masih bertahan sampai sekarang adalah Tenun Ikat Sambas, Bubur Pedas (makanan khas Sambas), Lagu-lagu Daerah Sambas (dari masa kerajaan yang bersifat anonim), dan Tarian Daerah Khas Sambas (Tandak Sambas, Jepin dan lainnya).

Disisi lain, beberapa kebudayaan lokal masyarakat Sambas terancam punah ditelan zaman, hal ini dikarenakan dari tahun ke tahun beriringan dengan arus globalisasi membuat kebudayaan asli Indonesia khususnya pada masyarakat Sambas terlihat sangat ketinggalan zaman. Banyak generasi sekarang yang tidak begitu peduli tentang budaya warisan leluhur. Mungkin generasi sekarang merasa itu sangat berharga apabila budaya dan barang kebudayaan diklaim oleh dinegara lain atau punah ditelan zaman. Hal ini bisa kita lihat pada kasus klaim oleh Malaysia atas Tenun Ikat Sambas, barulah mereka merasa itu sangat berharga.

Berangkat dari penjelasan diatas, kali ini saya akan menulis sebuah artikel yang juga untuk memeriahkan acara Gramedia 46 tahun menginspirasi dengan tema "Eksplorasi Budayamu". Otar-otar adalah salah satu budaya lokal warisan leluhur Sambas yang terancam punah ditelan zaman. Sasaran saya dengan adanya artikel ini untUk mengajak para pembaca senantiasa bangga akan warisan leluhur dan ikut melestarikan budaya-budaya peninggalan nenek moyang kita agar nantinya budaya lokal tidak punah. Karena bangsa yang hebat adalah bangsa yang bisa mempertahankan budaya dan kebudayaan bangsanya. 

APA ITU OTAR-OTAR ?
Seni Pertunjukan Otar-Otar adalah salah satu khasanah budaya masyarakat Sambas yang berkembang di wilayah Kabupaten Sambas Provinsi Kalimantan Barat tepatnya berada di Dusun Kota Lama Desa Ratu Sepudak Kecamatan Galing.

Otar-otar mempunyai hubungan dengan Kerajaan Hindu Sambas dengan rajanya yang terkenal yaitu Ratu Sepudak pada abad 16 M. Pada masa pemerintahan Ratu Sepudak, otar-otar merupakan olahraga beladiri yang dipergunakan oleh semua prajurit dan pengawal Raja (Ratu Sepudak).

Keunikan otar-otar adalah hanya ada dan berkembang di desa tersebut dan sekarang terancam punah ditelan zaman. Karena tinggal tersisa orang-orang tua yang sadar akan berharganya warisan leluhur ini untuk mempertahankan Otar-otar.

Otar-otar adalah gabungan dari silat, seni tari dan kuntau. Jika diperagakan menghasilkan gerak dan langkah yang indah dan membuat detak jantung berdebar saat melihat pertunjukan itu. Karena peragaan tari Otar- Otar mengunakan senjata Marau. Sasarannya adalah lawan di hadapannya.

Tari Otar- Otar bukan sekedar pertunjukan. Jika sudah menguasai tari ini bisa digunakan membela diri dari serangan musuh. Begitu juga ketika melakukan pertunjukkan, pemainnya sudah dibekali dengan mantra. Sehingga gerak dan langkah tari bergerak dengan sendirinya tanpa kendali pemain. Tidak sembarang pemain bisa menerima mantra karena hanya pemain yang memiliki jiwa bersih yang bisa menerima mantranya.

ASAL USUL SENI PERTUNJUKAN OTAR-OTAR

Berdasarkan cerita rakyat yang berkembang di wilayah bekas pemerintahan Panembahan Sambas (Panembahan Ratu Sepudak), Otar-otar diciptakan oleh �Bujang Neker� yaitu pada tahun 1762. Otar - otar merupakan hasil gabungan silat, kuntau dan tari yang pada waktu itu sudah ada di masyarakat. Bujang Neker mengembangkan Otar-otar dari bentuk silat menjadi seni pertunjukan.

Menurut cerita, nama silat ini merupakan hasil semedi dihutan selama beberapa hari. Oleh sebab itu Bujang Neker pun teringat dengan tameng yang dipakai oleh pengawal Ratu Sepudak yang dilengkapi dengan tombak, karena tameng pada waktu itu dapat diputar-putar. Saat itulah silat hasil karyanya diberi nama silat otar � otar . Tameng yang dapat berputar � putar ditangan oleh Bujang Neker dijadikan benda yang dapat melekat di tangan dengan 2 buah besi yang berbentuk setengah lingkaran. Dalam melaksanakan permainan silat otar � otar selain dilengkapi dengan tameng pemain juga dilengkapi dengan rotan sebagai alat pemukul dan untuk menyemarakkan tarian permainan diiringi dengan tabuhan gendang, gong, disertai dengan pembacaan mantra-mantra.

KEUNIKAN SENI PERTUNJUKAN OTAR-OTAR

Seni Pertunjukan Otar- Otar merupakan salah satu warisan budaya leluhur yang pertama kali ditampilkan di Dusun Kota Lama dengan menggunakan iringan musik dan menggunakan kostum melayu tetapi belum seragam. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan ini adalah dua buah gendang panjang, canang (gong kecil), tawak-tawak (gong sedang), dan aggong (gong besar).

Saat ini alat musik yang digunakan untuk mengiringi Otar-Otar hanya dua buah gendang panjang saja, dikarenakan alat musik lainnya seperti canang,tawak-tawak, dan aggong telah rusak. Tidak hanya rusak, alat musik tersebut juga sudah ada yang hilang seperti canang, dan aggong. Tabuhan yang digunakan untuk mengiringi Otar-Otar adalah tabuhan ugal-ugal dan sarame. Belum adanya penotasian pola tabuhan ugal-ugal dan sarame membuat peneliti tertarik untuk mentranskripsikan ke dalam notasi balok. Hal ini dilakukan agar pola tabuhan ugal-ugal dan sarame mudah dipelajari.

Otar-Otar menggunakan ritual sebelum dipertunjukan khususnya untuk penari. Ritual yang dilakukan yaitu berdoa untuk para leluhur dan memohon izin untuk melaksanakan Otar-Otar.

ALAT MUSIK OTAR-OTAR

Alat musik yang digunakan untuk mengiringi Otar-Otar di Dusun Kota Lama Desa Ratu Sepudak Kecamatan Galing Kabupaten Sambas adalah dua buah gendang panjang, canang, tawak-tawak, dan aggong.

1. Gendang panjang

Alat musik gendang panjang merupakan alat musik perkusi. Alat musik gendang panjang dalam Otar-Otar ditabuh pertama kali untuk menandakan mulainya pertunjukan. Di dalam mengiringi Otar-Otar, ada dua alat musik gendang panjang yang digunakan dan dimainkan oleh dua orang yakni sebagai penginduk dan peningkah. Penginduk berfungsi untuk memainkan tabuhan utama sedangkan peningkah berfungsi meningkah dari tabuhan penginduk. Tabuhan-tabuhan tersebut menghasilkan bunyi gendang yang saling bertingkahan antara penginduk dan peningkah.

2. Canang

Alat musik canang merupakan alat musik pukul yang terbuat dari tembaga. Alat musik canang berbentuk seperti gong pada umumnya, tetapi alat musik canang berukuran kecil lebih kurang berdiameter 35 cm. Alat musik canang dalam Otar-Otar dimainkan untuk memberikan tempo selama pertunjukan.

3. Tawak-Tawak

Alat musik tawak-tawak merupakan alat musik pukul yang terbuat dari tembaga. Alat musik tawak-tawak berbentuk seperti gong pada umumnya, tetapi alat musik tawak-tawak berukuran sedang lebih kurang berdiameter 45 cm dan lebih besar dari alat musik canang.

4. Aggong

Aggong merupakan bahasa daerah setempat yang digunakan untuk menyebut alat musik gong besar. Alat musik aggong adalah alat musik pukul yang terbuat dari tembaga. Alat musik aggong dalam Otar-Otar dimainkan untuk menghidupkan suasana agar lebih meriah. Alat musik aggong berukuruan lebih besar dari alat musik tawak-tawak yaitu berdiameter lebih kurang 60 cm.

PENDESKRIPSIAN RITUAL KESENIAN OTAR-OTAR

Dalam kesenian Otar-Otar terdapat ritual khusus yang dilakukan. Ritual dilakukan untuk keturunan Bujang Nekar dan masyarakat umum yang ingin melakukan gerakan Otar-Otar. Adapun ritual tersebut saya jelaskan sebagai berikut.

1. Ritual Untuk Keturunan Bujang Nekar

Otar-Otar merupakan kesenian yang diturunkan secara kekeluargaan atau turun temurun. Ritual yang dilakukan pada saat pemberian ilmu Otar-Otar kepada keturunan yang ingin mendalami ilmu Otar-Otar adalah sebagai berikut.

a. Setiap orang menyiapkan beras banjar, satu ekor ayam jantan yang telah tumbuh taji. Adapun bagian ayam yang digunakan adalah pada bagian hati dan ujung tajinya saja.

b. Setiap orang menyiapkan beras banjar, satu ekor ayam jantan yang telah tumbuh taji. Adapun bagian ayam yang digunakan adalah pada bagian hati dan ujung tajinya saja.

c. Tetua dari keturunan Bujang Nekar membacakan doa pada nasi banjar hitam yang telah disatukan dengan hati yang sudah dimasak dan ujung taji ayam tersebut.

d. Setelah dibacakan doa, nasi banjar hitam yang telah disatukan dengan hati yang sudah dimasak dan ujung taji ayam dimakan oleh orang yang ingin mendalami ilmu Otar-Otar.

2. Ritual Untuk Masyarakat Umum

Ritual untuk masyarakat umum yaitu dengan cara dibacakan mantra oleh tetua dari keturunan Bujang Nekar. Ritual dilakukan apabila ada masyarakat yang ingin terlibat langsung mencoba melakukan gerakan Otar-Otar pada saat pertunjukan. Tetapi tidak semua masyarakat umum yang ingin melakukan gerakan Otar-Otar setelah dibacakan mantra dapat melakukan gerakan Otar-Otar. Ada dua pilihan untuk masyarakat umum yang ingin melakukan gerakan Otar-Otar, pertama dengan cara dibacakan mantra, dan kedua dengan cara belajar kepada keturunan Bujang Nekar.

3. Ritual Sebelum Memulai Pertunjukan Otar-otar

Pada saat kesenian Otar-Otar ditampilkan, ritual yang dilakukan hanya berdoa dan meminta izin kepada leluhur. Tujuan dilakukannya ritual tersebut adalah agar diberikan kelancaran dalam melaksanakan pertunjukan kesenian Otar-Otar, dan dijauhkan dari hal-hal yang tidak diinginkan selama pertunjukan.

BENTUK PERTUNJUKAN OTAR-OTAR

Dalam pertunjukan Otar-Otarterdiri dari kuntau, tari, dan silat. Maksudnya adalah pada awal pertunjukan di buka dengan kuntau, kemudian dilanjutkan dengan tari, dan ditutup dengan silat.

1. Kuntau

Kuntau dalam pertunjukan Otar-Otar adalah bunga silat Otar-Otar. Pada bagian kuntau iringan musik menggunakan pola tabuhan ugal-ugal. Tetapi saat ini pada bagian kuntau iringan musik hanya menggunakan pola tabuhan sarame, karena tidak semua penabuh menguasai pola tabuhan ugal-ugal. Untuk mengakhiri bagian kuntau, penari melakukan hormat kemudian penari mengambil properti tari yaitu berupa mambudan tameng, dan pola tabuhan yang digunakan langsung berubah menggunakan pola tabuhan sarame. Maka berakhirlah bagian kuntau lalu dilanjutkan pada bagian tari.

2. Tari

Tari dalam Otar-Otaradalah pada saat penari bergerak menggunakan properti yaitu mambudan tameng. Pada bagian ini penari melakukan gerakan saling serang. Biasanya jika pertunjukan Otar-Otardimainkan lebih dari satu pasang penari, ada pasangan yang hanya bergerak menggunakan properti mambu 10 saja. Artinya penari berperan menentukan properti yang akan digunakan. Pada bagian tari iringan musik menggunakan pola tabuhan sarame. Untuk mengakhiri bagian tari, penari meletakkan properti kemudian dilanjutkan pada bagian silat.

3. Silat

Silat dalam Otar-Otar adalah pada saat penari bergerak menggunakan tangan kosong. Bagian ini diawali dengan kedua penari berjabat tangan dan iringan musik menggunakan pola tabuhan sarame. Untuk mengakhiri bagian silat, penari melakukan hormat yang menandakan pertunjukan Otar-Otar telah selesai.

GERAKAN DALAM PERTUNJUKAN OTAR-OTAR

1.Gerakan Balabat : Untuk menangkis serangan anak panah lawan.
2.Jurus Tanam Tebu
3.Jurus Paras Gantang
4.Jurus Sarung Gunting
5.Pukulan Cakak :
- Cakak Kucing
- Cakak Harimau
- Cakak Sekumbang Kain.

TEMPAT PELAKSANAAN

Pertunjukan Otar-Otar membutuhkan tempat yang luas. Dalam hal ini luas yang dimaksud adalah sama seperti arena pertandingan silat. Otar-Otarjuga membutuhkan tempat untuk pemain musik iringan Otar-Otar jika menggunakan iringan musik langsung. Pada umumnya Otar-Otar ditampilkan di tanah lapang.

WAKTU PERTUNJUKAN

Waktu yang dibutuhkan untuk pertunjukanOtar-Otar adalah pada siang hari. Dalam hal ini siang hari yang dimaksud yaitu kebutuhan cahaya yang terang. Apabila ada permintaan Otar-Otar ditampilkan pada malam hari, maka dukungan cahaya yang terang sangat diperlukan. Selain waktu pertunjukan, panjang durasi juga menyesuaikan permintaan dari yang mengundang Otar-Otar.

KOSTUM

Pada saat tampil, penari dan pemusik menggunakan kostum khas melayu, yaitu baju teluk belanga. Penari menggunakan tambahan rompi dan songkok hitam sedangkan pemusik hanya menggunakan tambahan songkok hitam saja.

Bersama Kita Bisa, Bersama Kita Melestarikan Budaya Kita. Mari menginspirasi banyak orang dengan budaya bangsa kita #NowWeSee #46thMenginspirasi #GBCFebruari.

Referensi:

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sambas

http://inonkpotters.blogspot.co.id/2012/02/budaya-otar-otar-di-sambas.html

http://makalah-perpustakaan.blogspot.co.id/2013/03/silat-otar-otar-tari-otar-otar.html

http://mabmonline.org/otar-otar-budaya-lokal-yang-hampir-punah/

Firmansyah, Henny Sanulita, Diecky K. Indrapraja, 2015, "KESENIAN OTAR - OTAR DI DUSUN KOTA LAMA KECAMATAN GALING KABUPATEN SAMBAS". Volume 4, No. 11, http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/viewFile/12509/11357, 23 Februari 2016.


"Silat Otar-Otar asli SAMBAS(kalimantan barat).flv" Video YouTube, 4:17. Dikirim oleh "Wahid Irayuda," Maret 2, 2012. https://www.youtube.com/watch?v=vP8oyT6vqM4.

Problematika Klasifikasi Suku Sambas Antara Dayak atau Melayu


SampanPesisir - "Jas Merah, Jangan (Pernah) Melupakan Sejarah", kata Ir.Soekarno. Sejarah secara sempit adalah sebuah peristiwa manusia yang bersumber dari realisasi diri, kebebasan dan keputusan daya rohani. Sedangkan secara luas, sejarah adalah setiap peristiwa (kejadian). Sejarah adalah catatan peristiwa masa lampau, studi tentang sebab dan akibat. Sejarah kita adalah cerita hidup kita.

Suku Sambas atau Urang Sambas (Melayu Sambas) adalah suku asli Kalimantan yang mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Mempawah - Kalimantan Barat dan populasi Urang Sambas juga dapat ditemui di wilayah Provinsi Riau Kepulauan dan Sarawak Malaysia.

Berdasarkan sensus penduduk 2010 Urang Sambas (Melayu Sambas) berjumlah 12% dari penduduk Kalimantan Barat dan sisanya Urang Sambas berada di perantauan.

Suku Sambas (Melayu Sambas) merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak rumpun Melayik yang dituturkan oleh 3 suku Dayak : Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei) dan Senganan yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Kutai, Tidung dan Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito Raya).

Pada mulanya, istilah Sambas merujuk pada suatu nama tempat bermukimnya masyarakat asli Kalimantan atau Dayak dan nama kerajaan yang berada di persimpangan 3 (tiga) sungai yang disebut Muara UIakan. Suku Sambas (Melayu Sambas) berdasarkan jenisnya adalah termasuk suku melayu tua sebagaimana Suku Dayak di Kalimantan Barat. Oleh karena itu secara fisik Suku Sambas mirip dengan Suku Dayak rumpun Melayik. Lambat laun,Sambas menjadi nama suku, persis seperti sebutan Dayak yang juga merupakan penyebutan orang-orang Belanda.

Hubungan Kekerabatan Suku Sambas (Melayu Sambas) dengan Suku Dayak diceritakan juga dalam tradisi lisan Suku Dayak dengan berbagai versi di beberapa subsuku rumpun Melayik (karena masing - masing subsuku memiliki sejarah tersendiri).

Sulitnya data semakin mempersulit para peneliti untuk mencari jejak asal muasal Suku Sambas (Melayu Sambas). Membuat hasil penelitian terlihat ambigu bahkan samar. Peneliti seringkali mengklasifikasikan berdasarkan bahasa, sedangkan menurut orang Kutai dan Tunjung-Benuaq mengenal tradisi lisan yang mengklasifikasikan golongan berdasarkan budaya dan sejarah budayanya serta geneologi. Oleh karena itulah Suku Sambas diklasifikasikan ke dalam suku Dayak berbudaya Melayu.


ETIMOLOGI

Pada awalnya Sambas bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah dan nama Kerajaan yang berada tepat di pertemuan 3 sungai yaitu sungai Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Teberau yang lebih dikenal dengan Muara Ulakan. Seluruh masyarakat asli Kalimantan sendiri sebenarnya adalah Serumpun, Antara Ngaju, Maanyan, Iban, Kenyah, Kayatn, Kutai ( Lawangan - Tonyoi - Benuaq ), Banjar ( Ngaju, Iban , maanyan, dll ), Tidung, Paser, dan lainnya. Hanya saja Permasalahan Politik Penguasa dan Agama menjadi jurang pemisah antara keluarga besar ini. Mereka yang meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan adatnya karena lebih menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi Masyarakat Melayu Muda.

Khususnya dalam Islam maupun Nasrani, hal - hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran akan ditinggalkan. Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut dengan Dayak. Adat-istiadat lama Suku Melayu Sambas banyak kesamaan dengan adat-istiadat Suku Dayak rumpun Melayik misalnya; tumpang 1000, tepung tawar, dan lainnya yang bernuansa Hindu.

Perubahan Suku Sambas (Melayu Sambas) secara drastis setelah masuk Islam, hampir menghapus jejak asal muasalnya Suku asli yang mendiami pulau Kalimantan yaitu Dayak. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih "beradab", membantu menghilangkan budaya Dayak pada Suku Sambas (Melayu Sambas) dengan cepat. Sehingga Sambas yang dahulunya beragama Hindu Kaharingan kehilangan jejak Kaharingan, walaupun sebagian kecil ada yang tersisa. Akibatnya orang lebih yakin Sambas adalah Melayu, padahal tidaklah demikian. Tentu saja segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan dengan agama) jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.

Setelah masuknya Islam, terjadi perubahan secara drastis dalam tatanan kehidupan Suku Sambas (Melayu Sambas), yang cukup signifikan menghapus jejak tradisi yang diwariskan leluhur mereka. Merebak secara luas kecenderungan yang menganggap bahwa kebudayaan Melayu yang masuk bersama Islam lebih beradab, sehingga budaya Dayak pada Suku Sambas mulai tersisih. Sebagai akibat, hari ini banyak orang yang mengidentikan suku Sambas sebagai bagian ras Melayu (muda). Secara teoritis, para peneliti memberikan istilah suku Dayak berbudaya Melayu untuk mewakili keunikan suku Sambas tersebut.

Dewasa ini, berdasarkan kajian dengan pendekatan sejarah, asal usul masyarakat yang sekarang disebut Melayu Sambas adalah hasil asimilasi beberapa suku bangsa di Nusantara yaitu yang sekarang disebut Melayu Sambas adalah asimilasi dari Orang Melayu (yang datang dari Sumatera dan Semenanjung Malaya sekitar abad ke-5 M hingga 9 M pada masa Kerajaan Malayu atau masa awal Kerajaan Sriwijaya), Orang Dayak (penduduk lebih awal yang secara turun temurun sebelumnya telah mendiami Sungai Sambas dan percabangannya), Orang Jawa (yaitu serombongan besar Bangsawan Majapahit keturunan Wikramawardhana bersama para pengukutnya yang melarikan diri secara boyongan dari Majapahit karena perang sesama Bangsawan di Majapahit pada awal abad ke-15 M yang kemudian mendirikan sebuah Panembahan di wilayah Sungai Sambas) serta Orang Bugis (para Nakhoda dan pembuat kapal bersama keluarganya dari Sulawesi yang kemudian membentuk sebuah perkampungan Bugis yang bekerja untuk Sultan-Sultan Sambas pada masa awal dan pertengahan Kesultanan Sambas).


BAHASA SAMBAS

Secara administratif, Suku Sambas (Melayu Sambas) merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan sebelumnya suku Sambas tergabung ke dalam suku Melayu pada sensus 1930 serta meningkatnya status dari sebuah dialek menjadi bahasa kesukuan yaitu Bahasa Suku Sambas.

Beberapa kata bahasa Sambas masih memiliki kesamaan dengan bahasa Kalimantan lainnya. Kemungkinan suku Sambas masih berkerabat dengan suku Dayak rumpun Melayik (terutama pada masyarakat Kanayatn). Karena suku Sambas (Melayu Sambas) beragama Islam dan mengembangkan kerajaan Islam sehingga tidak dianggap sebagai suku Dayak, tetapi dikategorikan suku yang berbudaya Melayu (hukum adat Melayu) seperti suku Banjar, suku Kutai, Suku Tidung dan suku Pasir.

Keunikan Bahasa Sambas (Melayu Sambas) adalah pengucapan huruf ganda seperti dalam Bahasa [Melayu] Berau di Kalimantan Timur, seperti pada kata 'bassar' (artinya besar dalam bahasa indonesia). Bahasa Melayu Sambas banyak dipengaruhi oleh Bahasa Melayu Serawak, Bahasa Dayak Kendayan, Bahasa Dayak Laut (Iban), Bahasa Banjar, Bahasa Jawa, serta Bahasa-Bahasa yang dituturkan di Filipina. Bahasa ini mempunyai persamaan dengan Bahasa Melayu Brunei serta Bahasa Melayu Ngabang yang dipertuturkan di kawasan berhampiran, berbanding dengan Bahasa Melayu yang digunakan di Semenanjung Malaya.

Sementara itu Bahasa Sambas sangat mirip dengan Bahasa Melayu Sarawak dan sekitarnya. Kemungkinan teori yang di sampaikan oleh peneliti Brunei dan Eropa bahwa Bahasa Melayu berasal dari Pulau Kalimantan merujuk dari kesamaan kosa kata yang beragam.

Bahasa Sambas itu sendiri merupakan bahasa yang hampir mencakup bahasa yang ada di pulau Kalimantan. Bahasa Melayu Sambas mempunyai beberapa dialek, antaranya Dialek E dan O. Bahasa Melayu yang dipetuturkan di Kota Sambas yang mendekati dengan Bahasa Melayu Ngabang dan Dayak Banyuke serta Pontianak, dialek bekas daerah Panembahan Sambas yang berada di Kecamatan Teluk Keramat kemungkinan mempunyai pengaruh Bahasa Sambas dengan Bahasa Jawa merujuk sejarah dari Panembahan Sambas yang didirikan oleh Raja dari Kerajaan Majapahit yang melarikan diri beserta rombongannya, maka Bahasa Sambas sekitar kawasan Teluk Keramat, Sajad, dan Paloh mempunyai pengaruh Bahasa Jawa.


Bahasa Melayu Sambas
Bahasa Melayu Sarawak
Bahasa Melayu Standar
Aku / Saye
Kamek
Saya
Kau / Direk
Kitak
Kamu
Die / Nye
Nya
Dia
Aok / Auk
Aok/Auk
Iya
Ndak / Da'an
Sik
Tidak/Tak
Sik an / Dise'
Sik Ada
Tidak Ada
Ngape
Kenak
Kenapa
Sitok
Sitok
Sini
Sinun
Sinun
Sana
Sie
Sia
Sine
Mane
Ne
Mana
Madah / Padah
Madah
Mengadu / Beritahu
Ngomong
Kelakar
Berbicara / berbincang
Biak ye
Sidaknya
Mereka
Urrang
Sidak
Orang
Punye
Empun
Punya
Kin itok
Kinektok
Sekarang
Dudi
Dudi
Kemudian
Ye
Ya
Itu
Simari / Simare
Ari Marek
Kemarin
Ari Ye
Ari Ya
Hari Itu
Biak
Mbiak/Biak/Miak
Anak

Melayu
Dialek [Melayu] Sambas
Berau
Banjar
Brunei
orang
urang
urang
urang
uang
tengah
tangah
tangah
tangah
tangah
besar
bassar
bassar
basar
basar
emak
ummak
-
uma
-
air
ae'
air
banyu/aing
aing
rakit
lanting
lanting
lanting
lanting
karat besi
tagar
tagar
tagar
tagar
yang
nang
yang
nang
yang
bungsu
bussu
busu
busu
-

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Contact Us

Nama

Email *

Pesan *